Friday, December 21, 2012

Peluk


Hari ini dan kemarin masih sama. Sejak detik saat saya menyadari satu hal dan memutuskan berhenti, kembali berhenti memercayai orang asing. Berhenti untuk takjub pada sesuatu yang dinamakan kebetulan dan konspirasi alam semesta untuk sebuah perjalanan. Berhenti, pada titik tidak mengenali dan tidak merasakan apa-apa.

Hati saya mungkin memang sekeras itu. Untuk mudah membatu karena tersenggol di bagian paling sensitif, tentang keluarga. Bahwa bagi saya tidak ada toleransi untuk menyepelekan masalah oranglain seberapapun kecilnya bagi kita. Bahwa bagi saya tidak ada toleransi membandingkannya dengan masalah sendiri untuk kemudian merasa bahwa cerita saya lah yg paling hebat. Bagi saya, tidak ada toleransi, terlebih ketika orang tersebut jarang sekali bercerita mengenai hal-hal yang paling pribadi mengenai dirinya.

Dan perjalanan membawa saya pada suatu pendirian dan ketetapan hati. Untuk kembali menjadi sekeras batu. Begitu saja. Tidak terselamatkan.

Terimakasih. Untuk pemicu menjadi tahap pendewasaan. Untuk pemicu akal sehat, yg kemarin melambung jauh melangkahi rasionalitas karena sebuah harapan. Harapan tentang impian yang semakin menjauh.

Dan di saat-saat ini ketika pekerjaan mengambang akibat sistem, di saat jam malam membuat pikiran saya terbang berlarian kesana kemari. Beruntung saya masih bisa bercerita dan mendapat asupan energi dari kakak lelaki kehitaman saya yang manis tetapi menyebalkan karena terlalu sering khawatir untuk hal yang tak perlu. Tenanglah, saya ini lebih tangguh daripada seekor kuda liar. :D

Untuk prosesi kala mendengar apa yang tak terucap, merasa apa yang tidak diperlihatkan, juga berbagi energi positif yang menghasilkan senyum. Saya berjanji, tidak akan pernah menyerah. :)

Kamsha hamnidaaaa. Transfer berton-ton energi selesai dilakukan. Karena kita ialah keluarga, selamanya~

P.S.:
Juga berton-ton kangen untuk Oom dan Tante yang berbahagia atas lahirnya fkecil-junior dengan sempurna. Semoga, masih ada kesempatan bagi saya untuk mengikutinya tumbuh besar. Amin. :D

*Di bawah sungai bintang perairan Mahakam, merasa hangat dengan jaket pinjaman yang wangi.

Monday, December 3, 2012

S(e)tabil(o)


Dalam perjalanan riuh di Ibukota malam itu, seorang teman sejak lama - yang entah mengapa akhir2 ini diperebutkan oleh vampir betina juga gadis penggembala sapi (yang entah mengapa saya ujug-ujug disebut di dalam ceritanya) - bertanya ringan pada saya:

"Maneh, sudah stabil belum?.." |
"Eh? Dari apa?" |
"Yang waktu itu.." |
"Oh! Sudah. Sepertinya." |
"Siapa yang membuat maneh stabil?" |
"Hmmm.. Waktu. Juga lingkungan, termasuk kalian kan? :)"

Baik dalam rekan kerja yang bersekongkol menghapus memori tercetak secara diam-diam juga melarang habis-habisan jika saya mulai menyanyi lagu galau. Baik dari keluarga yang menertawakan kenapa mesti mentok sama yang meninggalkan pergi. Baik dari teman-teman terdekat yang siap sedia setia saya pulang ke Bandung demi sekedar karaoke atau berhaha-hihi hingga pagi. Yang rupanya setelah setahun (?) berhasil menghantarkan saya pada suatu sikap "ealah dia doang" lantas tertawa terbahak bila mengingat kebodohan yang pahit itu. Karena waktu, dan semesta di dalamnya mendukung saya untuk berdamai. Berdamai dengan hal-hal yang menyakitkan.

Meski hingga kini, sifat jahanam saya masih merangsek untuk bercanda mengamini subjek-subjek yang nilai-dia-bagi-saya-telah-berubah-sejak-saat-itu akan hal konyol. Seakan mengalami distraksi cara memandang seseorang. Yah begitulah. Hehe.

Dan si teman sejak lama ini hanya mesam-mesem akibat adegan sikut perhatian yang dilebih-lebihkan. Karena, perasaan sih, saya tidak sedang merebut siapa-siapa saat ini. Wkwkw.

Beruntunglah, diharapkan membelah diri menjadi tiga oleh wanita-wanita yang (mayoritas) luarbiasa. Karena, entah apa yang terjadi, jika Anda tidak ada disana, sebagai kapasitor kami. :D

P.S.:
Sebagai pesanan untuk menggenapi yang sudah-sudah. Teruntuk tempat pulang semua orang gelisah, yang mana telah menjadi psikolog tercanggih sedunia. Temkyu!

 

Blog Template by BloggerCandy.com