Monday, December 3, 2012

S(e)tabil(o)


Dalam perjalanan riuh di Ibukota malam itu, seorang teman sejak lama - yang entah mengapa akhir2 ini diperebutkan oleh vampir betina juga gadis penggembala sapi (yang entah mengapa saya ujug-ujug disebut di dalam ceritanya) - bertanya ringan pada saya:

"Maneh, sudah stabil belum?.." |
"Eh? Dari apa?" |
"Yang waktu itu.." |
"Oh! Sudah. Sepertinya." |
"Siapa yang membuat maneh stabil?" |
"Hmmm.. Waktu. Juga lingkungan, termasuk kalian kan? :)"

Baik dalam rekan kerja yang bersekongkol menghapus memori tercetak secara diam-diam juga melarang habis-habisan jika saya mulai menyanyi lagu galau. Baik dari keluarga yang menertawakan kenapa mesti mentok sama yang meninggalkan pergi. Baik dari teman-teman terdekat yang siap sedia setia saya pulang ke Bandung demi sekedar karaoke atau berhaha-hihi hingga pagi. Yang rupanya setelah setahun (?) berhasil menghantarkan saya pada suatu sikap "ealah dia doang" lantas tertawa terbahak bila mengingat kebodohan yang pahit itu. Karena waktu, dan semesta di dalamnya mendukung saya untuk berdamai. Berdamai dengan hal-hal yang menyakitkan.

Meski hingga kini, sifat jahanam saya masih merangsek untuk bercanda mengamini subjek-subjek yang nilai-dia-bagi-saya-telah-berubah-sejak-saat-itu akan hal konyol. Seakan mengalami distraksi cara memandang seseorang. Yah begitulah. Hehe.

Dan si teman sejak lama ini hanya mesam-mesem akibat adegan sikut perhatian yang dilebih-lebihkan. Karena, perasaan sih, saya tidak sedang merebut siapa-siapa saat ini. Wkwkw.

Beruntunglah, diharapkan membelah diri menjadi tiga oleh wanita-wanita yang (mayoritas) luarbiasa. Karena, entah apa yang terjadi, jika Anda tidak ada disana, sebagai kapasitor kami. :D

P.S.:
Sebagai pesanan untuk menggenapi yang sudah-sudah. Teruntuk tempat pulang semua orang gelisah, yang mana telah menjadi psikolog tercanggih sedunia. Temkyu!

0 komentar:

 

Blog Template by BloggerCandy.com