Wednesday, May 27, 2015

Gulana


Jemariku mengetuk-ngetuk berisik.
Berharap rimanya dapat menjatuhkan bintang.
Untuk mengabulkan pinta juga mimpi.
Aku ingin terbang, Tuhan..

Anganku melayang di udara.
Bercerita tentang kami, dan segala komplikasi.
Kesehatan: complicated.
Keuangan: complicated.
Keluarga: complicated.
Asmara: complicated.
Karir: complicated.

Aku tertawa renyah.
Saat kau berkata rencana indah.
Percaya bahwa 1% takdir akan berpihak pada kami.
Namun salah.

Benih kehancuran itu muncul.
Dalam hari demi hari penuh resah.
Akan bisik tidak puas.
Ya, aku tidak puas.
Aku ingin lebih.

Aku ingin lebih.
Aku ingin kami yang dulu.
Aku ingin roda berputar sekali lagi.
Keinginan untuk memeluk Bumi.

Tuesday, February 10, 2015

Gerimis

Karena, aku terkadang lelah..
Lelah untuk mencari surga di telapak kakimu..

Jakarta kemarin, tak ubahnya seperti sendu yang sedang menyelimuti hatiku.
Sepanjang hari basah, dengan derunya yang mengetuk parau di jendela kami.
Aku yang memang pada dasarnya insomnia, terus mencari damai di balik selimut.
Untuk terbangun, mencari ia yang tak ada. Lalu tidur lagi.
Terbangun, tidur lagi. Lemah.

Ketika kamu jauh, aku menjadi rewel.
Ketika aku rewel, kamu menjadi marah.
Dan ketika kamu marah, kamu menjadi bajingan.

Bajingan yang membunuh hatiku.
Dalam konsep rendah, hina, juga kelayakan.
Kamu melambung begitu tinggi di atas kepalaku.

Aku yang sudah begitu jauh bersamamu.
Sebagai teman hidup terlama hingga saat ini.
Seperti terhipnotis, untuk bertahan.
Menanti kau kembali.

Tak peduli betapa kejamnya perkataanmu.
Tak peduli betapa kasarnya perilakumu.

Aku percaya, kau tak begitu.
Kamu lembut, dalam kondisi normal.

Dan jika kamu sedang jatuh, aku akan memegang tanganmu.
Dan jika kamu sedang lelah, aku akan menjadi penyemangatmu.
Dan jika kamu sedang takut, aku akan melindungimu.
Dan jika kamu mengusirku pergi, aku akan selalu menunggu.

Menunggu kau kembali memanggil namaku.
Menunggu kau kembali tersenyum.
Karena dunia mencintaimu.

Karena Tuhan itu ada..
Dan menjawab doamu..

Saturday, January 24, 2015

Get Highest

Tiba-tiba saja aku rindu mendaki.
Rindu mendekati batas diriku sendiri.
Rindu aku yang bekerja keras dan pantang menyerah.
Rindu aku yang berjalan terpatah demi menggapai tujuan.

Hanya aku, dan puncak tertinggi.
Hanya aku, dan Tuhanku.
Dengan rembulan yang tersenyum manja menyambutku yang menggigil menapaki subuh.
Dengan semilir angin dan gesekan dedaunan yang melantunkan lagu merdu nan syahdu.
Dengan semesta yang mengizinkanku menikmati mereka.
Meninggalkan jejak pada Bumi.

Keringatku yang deras.
Bekas sol sepatu yang usang.
Juga rapalan jimat saksi, serta doa-doa.
Yang menggaung dari hati pada seluruh jagat raya.

Aku rindu mendaki.
Aku yang tak terbatas dengan keterbatasanku.
Aku yang dekat dengan diriku sendiri.
Aku yang mengetahui tujuanku.

Aku benci masa kini.
Kini yang lebih menyukai batas.
Kini yang lebih memilih di rumah saja.
Demi masa depan yang samar.

Ah..
Tuhan, aku sungguh rindu.
Dengan puncak-puncakmu yang tinggi.
Aku rindu menemukan aku.

Thursday, January 22, 2015

B*tch

Halo, rinai.
Rinai hujan yg selalu sendu tapi membahagiakan.
Tidakkah kau lelah turun seharian?
Jakarta mendung hari-hari ini, yang juga kelabu.
Tak seperti lagu.

Ah..
Entah sudah berapa ribu jam yg kulewati untuk menulis.
Tergantikan oleh seorang lelaki, tempatku bercerita.
Yang akhirnya muak.
Dengan cerita omong kosongku.
Dengan cerita mimpi tinggiku.

Bahwa manusia diciptakan suka berkeluh kesah.
Bahwa tiada manusia tempat mengadu.

Tahun lalu, ialah tahun yg sulit.
Tahun dimana ia mulai jatuh sakit dan tidak bekerja.
Tahun dimana segala peraturan membosankan jalan cerita kami.
Membatasi hal yang menyenangkan kami.

Saat bertengkar lalu mesra setiap hari.
Saat saling mendorong lalu berpeluk erat.
Saat saling menghinakan lalu memuji.
Saat menangis untuk terbahak, lalu tergelak untuk menguras airmata.
Saat kita, mempertanyakan diam-diam dalam hati.
Apakah masih ada kita?

Dan bulan lalu, kau pun memilih pergi.
Kau memilih mati dari kita.
Kau ingkari janji besar sebagai balasan ribuan janji kecil yang ku ingkari.

Janji untuk bangun selalu pagi.
Janji untuk tidak manja.
Janji untuk tak banyak bicara.
Janji untuk menjadi yang ia butuhkan.

Kau membisu.
Dalam detik demi detik yang membuat frustasi.
Dalam malam demi malam yang bergelombang.
Aku menjerit, meski di kotak besi.
Aku terluka.
Namun aku tidak bisa berhenti.
Menunggumu kembali temukan jalan pulang.

Hingga minggu lalu, kau pulang.
Kau riang seperti pagi.
Kau hangat seperti siang.
Kau lembut seperti senja.
Kau melindungi seperti malam.
Hidupku sempurna. Selama satu minggu.

Hingga kau kembali mempermasalahkan hal-hal kecil yang tak bisa kau terima.
Hingga kau kembali membutuhkan jarak.
Jarak yang sangat jauh dan berdinding tinggi.
Kita bertemu tapi tak menatap.
Kita bersama namun tak bicara.
Kita ada namun tiada.

Apakah masih ada kita?

Aku hanya akan tetap mencintaimu.
Because always means always.

Bahwa tiada manusia tempat mengadu.
Bukan pula buku harian digital ini.

Monday, April 21, 2014

Bukan Pilihan


Mungkin memang sudah takdir.
Bahwa aku harus dianggap yang lebih kuat dan lebih mengalah daripada wanita lainnya.
Dalam keluarga, pertemanan, maupun percintaan.
Aku mungkin memang tidak diperbolehkan menjadi lemah bagi siapapun.

Apa kah karena aku yang terlihat angkuh,
sehingga dianggap bahwa aku bisa semuanya sendiri, dan tidak membutuhkan siapa-siapa?

Dulu sekali..
Entah berapa kali, ketika pembagian kelompok.
Jika harus ada kelompok dengan satu orang wanita akibat jumlah kami ganjil, pasti aku yang dipilih. Alasannya, karena aku bisa bergaul dengan siapa saja. Sendiri pun aku tak apa, menurut mereka.

Jika ada acara berkumpul bersama teman dekat, dimana di antaranya ada yang bermasalah denganku. Terlepas siapa yang salah, aku pasti di nomor sekian-kan untuk diajak bergabung.
"Kamu ngalah dulu ya..si dia datang, nanti suasananya canggung kalau kalian bertemu", kata mereka.
Alasannya, lagi-lagi karena merasa lebih kasihan dengan pihak yg lain. Dan menganggap temanku lebih banyak, aku bisa berkumpul dengan yang lain.

Mungkin, karena itu aku menghindari bergaul dengan sesama kaumku. Karena pada akhirnya mesti aku yang lebih mengalah. Aku takut sakit hati. Aku kini memilih bergaul dengan lelaki karena mayoritas mereka pasti akan lebih mengalah padaku.

Dan kamu..
Aku salah mengira aku bisa lemah di hadapanmu.
Karena, rupanya aku juga harus lebih kuat dan mampu tidak didahulukan dari kondisi-kondisi yang membutuhkanmu.
Sekali lagi, aku tidak boleh lemah. Bahkan bagimu.

Semakin aku menginginkan sesuatu, semakin banyak pula yang menghalangi.
Mungkin Dia tak memperbolehkanku menjadi lemah.
Aku harus selalu kuat, bagi siapapun.

Jangan pernah memilih,
Karena aku bukan pilihan.

Friday, April 18, 2014

Hama


Dia bilang, aku itu layaknya parasit.
Memiliki kebiasaan buruk dalam hal disiplin, juga hobi membicarakan hal-hal tak penting.

Untuk kemudian kutularkan padanya. Melonggar dalam perencanaan dan penepatan janji, juga gemar bangun siang. Hingga vertigo akibat terlalu banyak berputar dalam kata-kata.

Dia tidak suka, bila aku menjadi hama.
Bila aku membuatnya amat merugi waktu, menurunkan performa.

Amboi, kah aku sebegitunya?

Entah.
Tapi mungkin aku lebih baik tak makan satu bulan, daripada melulu dikatakan parasit sepanjang waktu.

Sunday, April 13, 2014

Buruk

Tak kusadari, kini aku telah menjadi buruk.
Buruk sekali.
Seburuk remah roti yang menjamur busuk di pojok kaki meja.
Seburuk gatal yang menyerang pori-pori.
Aku buruk.

Dahulu aku sempat berada di titik keangkuhanku.
Dimana kurasa dunia berada di telapak kakiku.
Bahwa aku, bisa menjadi apa saja.
Dengan keseimbangan pribadi yang kukira mampu kutata cantik di atas meja.
Cantik rupa, cantik pula hatinya.
Aku yang hangat.

Dan aku lupa.
Lupa kehangatanku.

Lelaki macam mana,
yang meski kusakiti setiap hari.
Dengan kata dan laku tak pantas.
Juga cengkraman perih di sekujur tubuhnya.

Meski marah, kesal, pun sakit hati.
Tapi tak berlari pergi?

Kamu...mungkin kamu saja.
Yang menerima keburukanku dengan ikhlas.
Yang kemudian kau alirkan ke samudera luas.
Untuk menjadi tak bermakna.

Karena aku cantik,
Namun hatiku harus lebih cantik.

Thursday, February 27, 2014

Puing

Kau tahu,
Aku mulai mengenalmu saat ujung jariku sudah tak lagi merasakan kebas.
Hanya kehangatan yang meluap,
mengalir berlimpah ke seluruh tubuh.

Aku mengenalmu dengan hangat.
Hangat yang menghantarkan lelap dalam setiap tidur.
Hangat yang menguningkan padi dalam segala cuaca.
Aku mencintaimu, dengan hangat.
Hangat yang kautularkan padaku saat kau memeluk tubuhku erat.

Aku bahkan terlupa begitu lama.
Akan rasa mati membeku, kedinginan yang akut.
Aku hanya tahu, bahwa aku mencintaimu saat ini.
Hingga esok lusa, kian bertambah dari hari ke hari.
Aku merasa mulai memiliki cinta tak berbatas.
Cinta yang hanya mengenal kata hangat.
Sehangat hatimu.

Namun,
Apakah yang kurasakan kini?

Hai hangat,
Kembali lah padaku.
Sebelum musim dingin berkepanjangan kembali melanda.
Membuatku tidur mengindari realita.

 

Blog Template by BloggerCandy.com