Halo, rinai.
Rinai hujan yg selalu sendu tapi membahagiakan.
Tidakkah kau lelah turun seharian?
Jakarta mendung hari-hari ini, yang juga kelabu.
Tak seperti lagu.
Ah..
Entah sudah berapa ribu jam yg kulewati untuk menulis.
Tergantikan oleh seorang lelaki, tempatku bercerita.
Yang akhirnya muak.
Dengan cerita omong kosongku.
Dengan cerita mimpi tinggiku.
Bahwa manusia diciptakan suka berkeluh kesah.
Bahwa tiada manusia tempat mengadu.
Tahun lalu, ialah tahun yg sulit.
Tahun dimana ia mulai jatuh sakit dan tidak bekerja.
Tahun dimana segala peraturan membosankan jalan cerita kami.
Membatasi hal yang menyenangkan kami.
Saat bertengkar lalu mesra setiap hari.
Saat saling mendorong lalu berpeluk erat.
Saat saling menghinakan lalu memuji.
Saat menangis untuk terbahak, lalu tergelak untuk menguras airmata.
Saat kita, mempertanyakan diam-diam dalam hati.
Apakah masih ada kita?
Dan bulan lalu, kau pun memilih pergi.
Kau memilih mati dari kita.
Kau ingkari janji besar sebagai balasan ribuan janji kecil yang ku ingkari.
Janji untuk bangun selalu pagi.
Janji untuk tidak manja.
Janji untuk tak banyak bicara.
Janji untuk menjadi yang ia butuhkan.
Kau membisu.
Dalam detik demi detik yang membuat frustasi.
Dalam malam demi malam yang bergelombang.
Aku menjerit, meski di kotak besi.
Aku terluka.
Namun aku tidak bisa berhenti.
Menunggumu kembali temukan jalan pulang.
Hingga minggu lalu, kau pulang.
Kau riang seperti pagi.
Kau hangat seperti siang.
Kau lembut seperti senja.
Kau melindungi seperti malam.
Hidupku sempurna. Selama satu minggu.
Hingga kau kembali mempermasalahkan hal-hal kecil yang tak bisa kau terima.
Hingga kau kembali membutuhkan jarak.
Jarak yang sangat jauh dan berdinding tinggi.
Kita bertemu tapi tak menatap.
Kita bersama namun tak bicara.
Kita ada namun tiada.
Apakah masih ada kita?
Aku hanya akan tetap mencintaimu.
Because always means always.
Bahwa tiada manusia tempat mengadu.
Bukan pula buku harian digital ini.