"Tuhan selalu bersama orang-orang yang berani."
(Roni, Guru kesenian SMA di Malang, mantan tim rescue Mapala UM)
Salah satu teman terdekat saya berkata, mendaki gunung itu untuk rekreasi. Teman dekat lain berkata bukan untuk melarikan diri. Ada pula yang berdalih menghabiskan energi. Lain lagi dengan Kakanda Suhu, mendaki gunung itu sarana membuktikan ketegaran. Untuk membuktikan kekuatan dengan menyusuri alam.
Bagi saya, mendaki gunung itu gabungan dari semuanya. Bagi saya, mendaki gunung itu bagai perjalanan menemui kekasih satu jiwa, yang bisa diajak berbicara dari hati ke hati. Ketika seluruh benda asing yang mengkontaminasi pikiran musnah. Tidak ada yang lain, hanya satu tujuan. Melangkah dan melangkah lagi, karena saya pasti menuju kesana. Saat hati, pikiran, dan jiwa murni ialah diri sendiri tanpa ada siapapun. Ketika di titik itu, saya bisa bercermin dan melihat pantulannya dengan jelas. Membaca siapa dan apa yang ada pada diri saya sesungguhnya.
Singkat cerita, saya pergi dari ibukota dengan beberapa virus yang berkembangbiak di kepala. Yang mengganggu keseimbangan hormon juga emosi dalam beraktifitas rutin. Maka detik itu juga, saya memutuskan pergi. Dengan mengatasnamakan kepercayaan pada dua orang teman yang saya kenal sepintas, saya bertaruh melakukan perjalanan kurang dari 10 hari.. menuju Kerajaan Anjani. Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Banyak hal baru yang saya dapatkan disana, juga sosialita baru. Abang polisi juga petugas kereta api Malabar yang gemar bercanda dan bernyanyi, Kondektur yang senang bercerita, ABK kapal yang selalu tersenyum meski dipekerjakan di bawah sinar matahari.. para pendaki, para penjelajah, orang lokal yang ramah. Yang mengantar ke Senggigi menjamu jagung bakar dan bremnya. Yang membagi ikan hasil tangkapan bersambal khas. Yang mencarikan tumpangan pulang plus menyelipkan uang jajan. Orang Malang, orang Banyuwangi, orang Mataram, orang Sembalun, orang Senaru, orang Sumbawa, dan orang-orang lainnya yang membuktikan bahwa selama kita berada di tanah air sendiri, kita tidak pernah sendirian. Kita banyak temannya.
Wangsit pertama bercerita mengenai kegelian saya sendiri dalam menghadapi suatu masalah. Katakanlah, saya muak bersikap defensif terhadap suatu inti cerita dalam 8 bulan terakhir. Saya muak berdamai, bersikap berjiwabesar, dewasa, tegar, bijak dan ntah apa-apa yang bertitle rongsokan. Itu bullshit. Saya muak, berkata silakan. Muak mendengar pembicaraan mereka di depan saya. Muak mendengar sedikit-sedikit dia menghubunginya. Saat bercengkrama dengan penduduk sekitar, saat menunggu pergerakan yang lambat, saat manja pada kondisi yan salah, saat-saat kamu-harus-bisa-mengalahkan-diri-sendiri-dan-meyakini-kamu-mampu-tanpa-harus-menghubungi-orang-itu-di-depan-saya-oh-please-mengerti-sialan?!? Intinya, saya mendapati wangsit bahwa kelian boleh saja menjadi setan atau muda-mudi yang terpanggang gelombang asamara.. tapi jangan di depan saya. Jangan berani-berani di depan saya. Karena meminta maaf itu dari bawah, sembari merayap, sembari berdarah-darah. No merajuk. No manja-manjaan. No mengeluh. Titik.
Wangsit kedua, mengenai pekerjaan. Mengenai rencana ke depan yang terarah menuju aman dan pasti. Kah memasuki Badan Umum Milik Negara dengan uang pensiun lumayan. Atau rencana studi ke tanah kelahiran Hitler dengan modal beasiswa. Atau angan menjadi Menteri demi memajukan negara. Yessss, itu juga bullshit. Saya benci rutinitas, saya benci dikendalikan, saya benci belajar. Sungguhpun saya benci menjadi pekerja. Seriously. Maka, saya bertekad untuk membatasi semua ini hingga 3-5 tahun ke depan. Setelah saya mampu menginvestasikan jaminan masa depan keluarga saya pada sesuatu yang konkret, yang bisa maju dan berkembang tanpa harus ada saya. Lalu kemudian saya akan pamit kepada Ibu, untuk pergi mengelilingi dunia. Membangun keluarga kecil Wild Thornberry milik sendiri. Meliput, menulis, mengabadikan momen langka. Berkarya dengan hidup nomaden. Hidup berkelana. Hingga menemukan satu tempat untuk menetap dalam kedamaian. Like a fairytale, tapi mungkin bagi yang percaya.
Wangsit ketiga, mengenai dominansi. Tentang visi dan misi bersama.. pendamping hidup. Maka kepada kamu-kamu sekalian yang usil dan dahulu selalu saya jawab hanya dengan titik tiga atau cengiran misterius, saya katakan.. Saya tahu apa yang saya cari. Demi Neptunus, saya tahu persis. No one's perfect, yes? Tapi, akan selalu ada disana. Seseorang yang digariskan oleh Tuhan untuk menjadi jodoh saya yang belum dipertemukan, literally.
Pada intinya, saya berhasil beristirahat! Berteman aliran bintang-bintang dan fullmoon sepanjang perjalanan. Meski 5 hari 4 malam belum cukup untuk menikmati keindahan kerajaan dewi. Tapi, saya berterimakasih, karena Allah telah mengizinkan saya mengunjungi rumahmu.. Anjani. Terimakasih.. :)
"Ayah, nanti Kakak sumbangin satu ginjal buat Ayah.
Tapi Kakak mau ke Semeru sama Rinjani dulu ya yah!" |
"Rinjani itu, di Lombok ya? Bagus gitu Kak?" |
"Katanya bagus, danaunya biru banyak ikannya.." |
"Ah Ayah juga kalau masih punya kesempatan mau kesana. Kamu beruntung Kak. Diberikan banyak kesempatan untuk hal-hal yang gak bisa Ayah alami dulu."
Iya, Rinjani bagus sekali Ayah.
Bukankah Ayah yang menyuruh Kakak untuk terus melangkah menuju puncak?
Meski air minum tak pegang, jaket hanya sehelai, dan angin beku terus menusuk telinga?
Ayah disana.. Bersama bulan yang dahsyat. Menemani agar tak pernah menyerah. Memeluk Mahadewi
.
Dan sumpah pemuda.. :D
♪ And I find it kind of funny,
I find it kind of sad
The dreams in which I'm dying
Are the best I've ever had
I find it hard to tell you
I find it hard to take
When people run in circles
It's a very very
Mad world, Mad world ♪
[Adam Lambert: Mad World]