Nama kota kecil itu Da Nang. Semacam Newyork-nya Vietnam yang dibelah sungai panjang dan dihubungkan jembatan yang sungguh meriah di malam hari. Lampu berwarna-warni berganti-ganti, orang menari, meminum bir di sudut-sudut tepian sungai. Sayang english masih belum gaul di kota ini, seringnya kami Indonesian mesti menggunakan bahasa isyarat ataupun google translate untuk berkomunikasi.
Dua hari saja saya melancong di kota itu, satu hari sebelum dan satu hari sesudah survey. Sisanya, mengarungi Lautan China Selatan yang seringkali dihantam badai Monsoon maupun Taifun. Saking ganasnya hingga saya tidak betah berada dalam ruangan. Menatap monitor sekian menit, mencari udara segar dua kali lipatnya. Mungkin, ini yang dinamakan mabuk laut. Lemah, haha.
Proyek kali ini seru, terlebih karena ini pengalaman saya ke luar negeri. Lebih berdesir daripada biasanya, meski gelombang selalu mengamuk tak henti mengacaukan data saya. Kali ini saya bekerja dengan seorang Malasyian, pasalnya Kakak pertama yang seharusnya menemani saya masih ditawan di Lautan Jawa untuk membantu Kakak kedua menggoyangkan beam yang sangat bebal. Cemas berlebihan, tentu saja. Meski will saya untuk berpikir dan belajar meningkat, tapi tetap saja bekerja dengan orang asing itu sulit. Penyesuaian karakter, pembagian kerja, bahkan troubleshooting masalah pun menjadi lebih rumit. Apalagi alat navigasi kesayangan mendadak ngadat tak beroperasi, menghasilkan panik sekaligus hidung kembang kempis karena akhirnya bisa membuat sistem baru.
Dan, orang Vietnam itu. Seorang klien yang bertugas sebagai translator dengan chase boat kapal perang Vietnam yang berbahasa internasional disertai logat sengau yang kental. Gemar merayu, dari mulai menggoda tak penting setiap bertemu, hingga mencoret tanpa izin pada sebuah buku. Begitu membuat gerah.
Chief bilang, untuk tidak mengeluarkan aura merah saya. Membuat seorang yang tidak mandi dua hari pun terlihat menarik katanya. Hei, jika yang mengeluarkan auranya ialah sesosok jin keris dari masa lalu, atau jin penunggu gunung yang pernah saya daki.. saya bisa apa? Pfffft.
Ah, jadi meracau.
Mungkin karena Seapath.
Mungkin karena Maranatha.
Mungkin karena Bianglala.
Saya ingin menari bersama gondola, sekalian mengecek cukup tangguh dihantam arus lautan yang kencang atau tidak. Hasil dari angin dengan kecepatan 50 knot dan swell 2 meter. Boleh?
0 komentar:
Post a Comment