Malam itu dimeriahkan oleh adikku yang berteriak ribut saat tim sepakbola yang entah sejak kapan menjadi kesayangannya, dibobol bertubi-tubi oleh lawan. Si Setan Merah, sebut saja. "Ah kamu, sejak kapan suka mereka? Seperti si itu saja," aku berceletuk ringan. Si adik hanya cekikikan meledek. "Masih ingat saja!"
Yah, berjuta memori yang terlempar dari masa lalu, memang terkadang melekat begitu saja dan tak mau pergi. Bagaimana tidak, bukankah orang itu yang dahulu mau menemaniku dalam ritual rutin Senin-Kamis. Melewati lorong sepi yang bercampur bebauan yang memuakkan. Mau diakui atau tidak, dia pernah sangat berjasa bagi keluarga kami.
Lalu Ibu menimpali,
"Eh iya dia sudah kerja belum?" !
"Kata rerumputan sih sudah, di pulau seberang." |
"Ohya? Ibu prospek asuransi ah!" |
"Coba aja hubungi, barangkali masih ingat sama Ibu. Hihi.." |
"Iya ya. Siapatau mau masuk kayak si Anu. Ah, tapi Ibu sakit hati sama si Anu teh. Belegug."
Memori lagi.
Ialah suatu momen ketika pertama kalinya si Anu mengantarku pada salah satu ritual di kala itu, dan menawarkan untuk mengantar kami ke rumah jika sudah selesai. Tapi yang dilakukannya hanyalah duduk sebentar, salam sama Ibu, lalu gelisah untuk kemudian pamit dengan alasan penting ada acara bersama teman. Iya, dia lupa akan ucapan yang menurutku penting, terlebih tidak menengok Ayah sama sekali. "Aku takut.." itu dalihnya dahulu. Perkataan yang memecahkan suatu sentimentil yang mulai terbangun pelan-pelan. Hancur.
"Si Ini sama si Ieu juga kemana yah, ah apalagi si Eta.. punya pacar baru langsung menghilang ya?" Ibu meracau. Memanggil-manggil memori.
Hmm. Mungkin memang lelaki begitu. Tipikal yang ketika memiliki maksud mendekat dan menawarkan bantuan. Tapi ketika sudah merasa tidak ada harapan, menghilang begitu saja. Membikin si Ibu kangen, wkwk.
"Sudah, nanti aku bawa satu yang bisa menggantikan mereka semua. Sebuah paket lengkap," ujarku terbahak.
0 komentar:
Post a Comment