Kau mulai terasa asing.
Saat aku tidur dan kau terjaga, untuk kemudian sebaliknya.
Kata-kata hanya menjadi bumbu pahit, menjadi pemicu ledakan yang diam-diam tersulut di dalam sana.
Malam itu, ...
Aku bercerita tentang keluarga kecilku.
Tentang aku yang disorongkan Ibu sebagai orang pertama.
Mungkin aku memang mulai lelah, mulai kalut dan frustasi.
Tentang visi yang mutlak dan tak terevisi,
ialah istana yang belum jua rampung hingga saat ini.
Tidakkah, bila aku boleh bermimpi di siang bolong.
Ada yang mengajakku hidup bersama, dengan menjamin keluarga kecilku juga?
Bukan yang menghina, bukan yang menyuruhku pergi meninggalkan mereka.
Cukup... diriku saja, yang berkata bahwa mereka bukan pribadi yang sempurna.
Engkau, cukup memberiku semangat.
Membantuku merapal jimat sakti bahwa semua akan baik-baik saja.
Tidak ada kah yang begitu?
Ah.. Bukankah aku terlalu naif?
Sewaktu aku berdoa pada-Nya dulu,
meminta kau yang menerima ada apanya,
yang melindungi dan menjaga,
juga tampan nan memesona?
Kini aku ingin lebih daripada itu,
karena aku belum bisa memenuhi mimpiku sendiri?
"Saya ingin mapan dan mandiri sebelum menikah, agar saya tidak merepotkan suami saya kelak... :)"
Bullshit. Karena aku belum mampu.
Atau memang tidak mampu.
Ah...
Dengkuranmu mengeras,
seiring dengan rasa yang mulai membeku, bersiap mati suri.
Haruskah aku lagi pergi?
Tanpa kompromi, tanpa toleransi.
Tanpa visi bersama, yang entahlah.. buram rasanya.
Kau ...
Bisakah, bila aku terus hidup bersamamu?
Merajut mimpi yang berjalan paralel,
antara aku dan kita.
Andai saja kita ialah aku ...
0 komentar:
Post a Comment