Saya, masih merasa bermimpi. Sungguh. Untuk kehilangan sosok nomor satu di dunia. Ayah yang paling ganteng sepanjang masa~ :(
Ayah. Saya... kangen. Kangen sekali. Ingin peluk, ingin cium, tertawa bersama. Semua. Kangen... sekali.
Dua minggu itu, saya ingin sekali berada disana. Temani yang susah tidur. Yang dikit-dikit minta dipijat kayu putih. Maaf, terakhir saya memang jarang melakukannya. Ngobrol pun hanya satu-dua. Karena, saya tak sanggup. Dan tidak mau menangis. Ayah mau saya kuat, dan tidak cengeng, dan bisa jagain Ibu. Jagain Wike dan Windi.
Hari-hari itu, saya benci malam hari. Maka saya bekerja hingga larut, agar capek dan tidur dengan tenang. Dan, kerjaan cepat selesai. Tapi, tetap saja. Saya insomnia dan demam. Lagi. Berkali saya terbangun dan menangis. Ayah sehat? Ayah... sehat? Tapi saya tahu Ayah. Kakak tahu. Ayah akan selalu sehat, selamanya.
Saya tidak tahu, bagaimana harus bersikap. Karena.. karena.. saya belum punya cukup uang untuk mengganti mereka. Karena, saya yakin.. Ayah bisa bertahan. Ayah..
Maaf. Jika saya belum bisa memenuhi semua harapan. Saya, belum membelikan Ayam Betutu di restoran baru dekat rumah kita itu. Saya, belum membawa bertemu Eyang Tulungagung. Saya, belum bisa membelikan benda-benda mahal. Belum bisa, membelikan Harley Davidson. Saya, belum bisa masuk BUMN. Saya belum menaikkan haji, belum selesai mengajarkan membaca Al-qur'an... yang selalu Ayah lupa huruf-hurufnya. Hehe.
Saya selalu berharap, setiap saya pulang ke rumah.. melihat Ayah disana, duduk menunggu di teras rumah kecil kita menunggu teh botol, martabak telor, atau kue-kue kesukaan Ayah. Yang Ayah sembunyikan diam-diam agar Ibu tidak tahu dan murka. Maaf, saya tidak ingin mencelakakan Ayah. Bukan.. Saya, cuma ingin, di waktu terakhir Ayah, Ayah masih bisa bahagia. Meski dengan makanan-makanan itu, meski dengan pijatan tidak seberapa itu. Meski.. meski.. hanya dengan temani yang tidur gelisah, atau mencium pipi kering yang berhari tidak kuat mandi.
Ayah.. Saya belum berhasil, Ayah. Mengapa Ayah pergi begitu cepat. Ayah, belum punya anak laki-laki, untuk menonton bola. Untuk menonton Brama Kumbara. Untuk gegelutan atau uleng-uleng. Untuk sholat ied bersama. Tahun depan, depan, dan depannya lagi. Mengapa?..
Saya, sedih sekali. Karena saya tidak mendampingi di detik-detik terakhir. Tidak membantu Ibu mengurus administrasi di rumah sakit negeri yang semrawut itu. Tidak ikut memandikan Ayah yang sudah terbujur kaku. Tidak bisa, menggiring membaca kalimat syahadat. Tapi, kata Ibu.. Ayah tenang sekali sebelum pergi. Katanya, Ayah tersenyum.. Katanya, Ayah ikhlas..
Tenang saja Ayah, saya akan menjaga harta Ayah. Ibu yang cantik, dan adik-adik yang berisik. Karena, meski saya perempuan, tapi Ayah tidak gagal. Mendidik saya agar mandiri, tidak cengeng, dan kuat. Meski saya keras kepala seperti Ayah, tapi kita sama bukan? Bahwa kita akan melakukan apapun, untuk orang-orang yang disayangi. Demi keluarga kita..
Wike pasti bisa masuk ITB Ayah.. atau perguruan tinggi negeri yang bagus, meski saya juga khawatir dengan hobby-nya yang tidak jelas. Windi juga pasti akan menjadi anak indigo yang cerdas. Dan kami akan berhasil, janji. Akan kami bawa Ibu ke istana yang paling indah. Agar Ayah bahagia, meski tidak bersama. :)
Ingat terakhir kali kita berjumpa sebelum Ayah koma? Waktu itu saya memaksa Ayah makan bubur dan obat pahit itu. Berkali Ayah menolak karena takut muntah, dan saya memaksa. Lalu benar, muntahan itu nyata. Pedih, dan merasa sangat bersalah.. karena memaksa. Maaf ya Ayah, semoga Ayah mau memaafkan anakmu yang bodoh ini.
"Ayah.. Kakak berangkat ke Natuna ya Ayah. Ayah yang kuat ya.." | "Iya Kak, hati-hati.. Doain Ayah ya.."
Lalu dua hari sebelumnya, saya berbisik pada Ayah yang menatap kosong. Hanya kuning redup yang tersisa, dan sunyi. Saya bilang.. bilang.. kalau Ayah capek, Ayah boleh pulang. Ayah istirahat saja yang tenang, biar saya yang menjaga Ibu dan adik-adik.. Saya ikhlas, Ayah, gakpapa.. Dan, Ayah menjawab, dengan gumaman.
Kenapa. Ayah gak minta saya untuk tidak pergi dan terus menemani? Gak bilang kalau itu kali terakhir kita bisa berbicara? Kenapa, sampai saat itu, Ayah tetap tidak mau membuat saya khawatir?
Ah. Ayah.. jika saja Ayah bisa mendengar.
Percayalah. Kakak akan selalu menyayangi Ayah, kami akan selalu menyayangi Ayah. Karena Ayah ialah Raja kami. Dan sampai kapanpun, Ayah akan selalu ganteng. Meski sudah botak, bersisik, bentol-bentol, kurus, hitam, bermata kuning, dan sesak nafas. Ayah akan selalu ganteng.. selamanya. Sunsun, ...
Ayah cepat pulang.. Widya nunggu-nunggu,
Ayah cepat pulang.. Widya nanti-nanti.. :)
6 komentar:
vidia...
sumpah netes air mata q,,baca tulisan blog km itu.
tetep semangat
:)
hehe.. ;)
Ayah Bu Widya baret ungu juga ya.
iyaaa, yon 6 :D
Nangis terus2an T___T
-_________________-"
Post a Comment