Aku pelaut yang mencari daratan yang tak pernah tenggelam.
Yang bisa memaksaku pulang. Dimana aku mampu melabuhkan jangkar hingga berkarat.
Karena aku tak mau berlayar lagi. Aku telah pulang..
"Naon sih critz, maneh liat urang pacaran. Mupeng yaks?" |
"Hih. Bodor. Hahaha." |
"Bodor kunaon? Namanya juga pacaran. Naon bodorna. Bodor tapi hayang nya?" |
"Azzzz, mengalihkan. Jadi, pacarnya ada berapa? :p" |
"Ada 1. Maneh mau jadi ke dua? :D" |
"Bah. Cape hati sigana mah." |
"Hahahahha. Emang mau jadi ke berapa?" |
"PUH." |
"Wekekeke, awa doain..ketemu co yang bisa manjain maneh ya critz." |
Dan saya mendelik. Merah padam.
"Amin gak?"
"Amin?"
"Amin dulu atuh.."
"Amin ya? Ya? Ya?"
"Amin ya? Ya? Ya?"
Sungguh ya. Dia memang paling pintar membalikkan keadaan. Sosok cerdas yang berani.
"Ah. Urang paling benci dibaca orang lain," akhirnya saya bicara setelah kopi hitam kapal api habis.
Dan dia tersenyum, jahil. "Itu kenapa maneh selalu tidak mendapatkan apa yang maneh inginkan crit.."
Sialan. Lalu dia mengacak-ngacak rambut saya yang tipis. Merenung memandang perairan teluk yang tenang. "Crit, semua cowok yang punya adik cewek pasti mengerti, kalau kalian itu pada dasarnya manja. Urang yakin maneh juga, cuma karena keadaan jadi gakbisa. Tapi suatu saat, pasti maneh ketemu orang yang tepat. Ya? Amin?!!!"
Muka saya tertekuk, dan merah. Saya mengangguk, memainkan tiewrap dalam sunyi. Dia tersenyum jahil, lagi. Senyum yang membuat tonjolan pada bagian pipi bawah. Yang selalu saya olok-olok ketika mengejek muka saya yang katanya seperti terbuat dari pipi semua.
"Nah gitu dong. Tenang aja, pasti ketemu.." Dan dia melengos pergi, membiarkan saya melamun.