Monday, July 9, 2012

What's happening?


Malaikat Jibril mendatangiku pada malam Nishfu (15) Sya’ban, seraya berkata, ” Hai Muhammad, malam ini pintu-pintu langit dibuka. Bangunlah dan Shalatlah, angkat kepalamu dan tadahkan dua tanganmu kelangit .”

Rasulullah saw bertanya, ” Malam apa ini Jibril ?”

Jibril menjawab. ” Malam ini dibukakan 300 pintu rahmat. Tuhan mengampuni kesalahan orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, kecuali tukang sihir, tukang nujum, orang bermusuhan, orang yg terus menerus minum khamar (arak atau minuman keras), terus menerus berzina, memakan riba, durhaka kepada ibu bapak, orang yang suka mengadu domba dan orang yang memutuskan silaturahim. Tuhan tidak mengampuni mereka sampai mereka taubat dan meninggalkan kejahatan mereka itu .”



Anggaplah pada suatu masa, saya melakukan kesalahan. Saya lepas kendali. Saya menjelekkan seseorang pada oranglain yang paling tidak ingin dia ketahui keburukannya. Saya akui, saya salah. Yang berlanjut pada amukan seolah tak terarah. Apapun disebutkan, bahkan rahasia yang sungguh hanya saya ceritakan detail pada seseorang tersebut pun dijadikan kunci kemenangan. Silakan, saya diam, saya tak ambil pusing, saya masa bodoh. Bahkan, bodohnya, saya jadikan permainan seru-seruan. Saya biarkan kami menjadi badut Ancol yang disorongkan mengadakan pertunjukkan menarik. Saya tertawa dan berbusa. Menikmati panggung kehidupan.

Hingga, saya tersentil ketika sahabat saya bercerita yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya namun pas dengan kondisi ramai yang terjadi.

"Darl, kok belum baikan sama ******? Coba dsmslah" | "Hah ngapain? Tengsin akh wkwk" | "Dalam suatu hubungan ga ada yg tengsin2an" | "Wae" | "Kok wae? Memendam rindu itu menyakitkan. Tiap gue pundung2an sama temen gue pasti gue merana" | "Memang hehe, lebih baik merana daripada tengsin :p" | "Eh gue gak dateng ya besok.." | "Ah lu arogan juga nih ha3" | "Beda lah, gue gak merana tanpa si mempelai. Hahahahaha"|

Sialan. Iya sih, jauh di lubuk hati saya. Jauhhhh sekali.
Saya merana, dan saya menderita.. Berkoalisi untuk menertawakan seseorang itu.

Hingga lama-kelamaan yang asalnya seru mulai menohok hingga ke hati. Yang asalnya asik mulai bergerumul menjadi penyakit. Ada apa? Kenapa? Apa masalah kamu?

"Dee, jangan berantem lagi ah. Buang2 waktu." | "Yah kan seru-seruan aja" | "Apanya yang seru? Temen nanjak kok dimusuhi" | "Bukan di pihak yg mulai kok, ya ladeni aja kan." | "Yah, kalo mau, skrg jadi pihak yg mulai memperbaiki aja. Gak ada ruginya toh?" | "Hahaha, selalu itu mah. Sekarang udah capek. Sebodo. Bukan aku yang punya masalah." | "Kalo gitu, apa susahnya melakukan sekali lagi? Hehe" | "..."

Lalu pada malam yang damai, pertarungan tak penting itu dimulai lagi. Yang asalnya bertujuan mentreat oranglain, jadi pukulan telak bertubi-tubi bagi diri sendiri. Pihak yang terlibat sebagian, yang tak terlibat sama sekali, bahkan yang hanya sok eksis nimbrung seru-seruan.. ikut heboh bersorak. Lagi, kami menjadi badut Ancol. Dan kali ini, semua terasa sangat tidak seru bagi saya. Ini keterlaluan. Ini berlebihan. Ini makin tidak masuk akal. Ini, harus diakhiri. Monggo, yang nyimak, yang manggut-manggut, yang menyemangati. Just mention me when i'm included.

>> Seseorang itu mengira saya memiliki masalah sama dia. Dia berpikir, saya cemburu, saya berpikir dia rendah, atau saya masih mentok akan perihal janji nikah-menikahi.

Preeet. Hell to the O. I'll tell you once again, Miss. I don't have any f*cking business with that shit. Tahi ayam. Bagi saya, semua itu nol besar sekarang, not worth it. Apapun yang saya lakukan, yang saya ladeni, sungguh pun semata-mata untuk menyerang oranglain.. dan yang bingungnya, disimpulkan menjadi bermasalah dengan orang tersebut. Seharusnya, saya hanya memiliki masalah dengan orang lain, tapi karena dia sekarang termasuk lingkupnya, bahkan ikut-ikutan. Terserah, itu hak saya untuk bersikap terhadap orang yang mencari gara-gara terhadap saya.

>> Dia meminta saya bersikap sewajarnya, tidak 180 derajat. Tidak baik di depan dan benci di belakang.

Saya minta maaf, untuk emosi yang tidak tepat itu. Bagi saya, itu tidak berlebihan untuk dibalas dengan anjing, bitch, ataupun whore. Iya, saya salah. Tapi, dari dulu, saya sudah bersikap sewajarnya dengan cara saya sendiri. Hanya saja, kamu tidak pernah mengerti. Kamu terlalu selfish, tidak sensitif. Kalau tidak percaya, tanya setiap orang yang mengenal kita. Saya memang bukan tipe yang gampang meledak, yang langsung nunjuk orang kalau tidak suka. Tapi, diam saya ketika kamu merajuk, atau tuli saya ketika kamu manja, dan sebagainya itu bukti saya tidak manis di lidah pahit di buntut. Itu yang tak pernah kamu pelajari. Kamu tidak pernah belajar beradaptasi, mengerti oranglain. Kamu tidak pernah tahu, ada kondisi dimana kita boleh memainkan kata-kata tajam dan bersikap antagonis.. tapi juga ada kondisi dimana kita harus memperhalusnya agar tujuannya tercapai. Kamu tidak pernah mengerti. Tidak pernah. Dan, saya tidak membenci kamu. Saya hanya tidak suka terhadap kekurangan-kekurangan yang dimiliki orang saja, lalu menerimanya. Sama halnya saya tidak suka dengan kemalasan 'kakek'mu, atau mulut besar nya 'papa'mu. Sama seperti mereka juga tidak menyukai kekurangan saya. Tapi kita tetap bermain bersama bukan? Hanya sebatas itu. Manusia memang ditakdirkan tidak terlahir dengan warna hitam atau putih, tapi manusia harus menerima bahwa mereka abu-abu.

>> Yang terakhir, pahit. Dan sungguh terlalu pangkat 10. Dia meminta putus kontak dengannya maupun keluarganya. "Let me get out from your life", katanya. Jangan melakukan sesuatu atas nama orang yang melahirkannya.

Sungguh, angkuh sekali. Saya menyerah. Di titik ini, saya menyerah. Memangnya dia siapa, melarang saya untuk berhubungan dengan makhluk Allah lainnya? Saya memiliki hak untuk bersilaturahmi dengan siapapun. Keterlaluan. Dan, hak saya untuk menolong oranglain yang kesulitan, terkhusus apalagi dalam hal mencari anaknya yang hilang dua hari. Kamu atau bukan, bahkan meskipun itu Ibu tak dikenal yang menangis di depan pusat informasi taman bermain, jika memang saya memiliki akses untuk menemukan anaknya.. akan saya bantu. Itu, sesuatu yang tidak bisa saya kompromikan.

>> Dia meminta, lagi. Dengan membawa kepemilikan tentang Ibu dan anak. Dan dia meminta saya untuk tidak membawa-bawa nama Tuhan.

Batu, dan sangat angkuh. Lebih angkuh daripada ikan koki yang saya benci. Bukan seperti ikan arwana yang berkarakter, bukan. Kamu salah besar kali ini. Saya dibesarkan dengan orangtua saya untuk menghargai orang yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda (iya, persis seperti buku pelajaran kewarganegaraan sekolah dasar). Saya pernah digantung dengan kaki di atas hanya karena mewarnai sendal tetangga yang saya benci dengan correction pen, tahu?! Saya dididik untuk sebisa mungkin sopan. Meski juga dibesarkan untuk menyerang ketika diserang. Dan yang perlu kamu tahu, saya tidak pernah mencari muka dengan sok-kenal-sok-dekat, saya hanya menjawab yang bertanya. Saya hanya menawarkan solusi, bukan cuma kepingin tahu terus memanasi suasana agar saya selalu benar. Kalau mau, silakan kamu yang meminta pada beliau untuk tidak menghubungi saya karena kamu tidak suka. Karena saya tidak akan pernah mengiyakan permintaan kamu yang maha super dahsyat konyolnya itu. Dan lagi, hak saya untuk membawa nama yang Maha Tinggi. Kamu, sama sekali, tidak berkepentingan untuk mengatur hubungan saya dengan-Nya. Ya, saya memang jarang sekali menaati peraturannya, mungkin bagi kamu juga saya tidak layak. Tapi, saya manusia ber-Tuhan. Saya percaya, Dia ada dan mencintai saya.

Pada intinya. Dari dahulu, hingga selamanya, saya akan tetap seperti itu. Seapa adanya. Semua yang diminta (terkecuali perihal pemutusan silaturahmi) telah saya lakukan dan akan saya lakukan. Dari hati, tanpa mengharapkan apa-apa.

Cukup. Kalau itu yang dimaui, oke. Saya paham. Sejelas bintang timur di ufuk Rinjani.


0 komentar:

 

Blog Template by BloggerCandy.com