Thursday, November 29, 2012

Cukup Makan Cinta


Teringat kisah seorang teman, yang mana keluarganya hidup sungguh naif. Karena, mereka hanya mengenal satu kata: CINTA.

Bapak teman saya itu dahulu kaya raya. Saat itu mendapat suatu kesempatan juga materi yang, katakanlah, meski tidak besar-besar amat, cukup untuk diinvestasikan menjadi sesuatu bagi anak-anaknya kelak.

Tapi, entah apa pasalnya, tanpa diskusi dengan siapapun, semua materi itu lenyap tak berbekas. Menjadi tahi

Lalu sang Bapak jatuh sakit, keras. Di tengah segala keterpurukannya itu, Ibu teman saya pernah mengumpat.. "Lo itu bego, duit kemaren dikemanain? Coba lo ambil, beliin apa kek, udah punya apa aja kita sekarang? Gakkan hidup susah kayak gini. Sekarang lo sakit, bisa ngasih apa ke anak-anak? Jangankan warisan. Hutang! Lo mati cuma ninggalin hutang!"

Sang Bapak diam. Dan meski berkata kasar, sang Ibu mengurus sisa hidup suaminya tanpa henti. Tanpa pamrih perhiasan-perhiasan. Tanpa berusaha meracuni dengan iming-iming asuransi jiwa yang cukup besar.

Saya menghela nafas, lalu bertanya pada teman saya:
"Nah..lu, apa yang lu rasakan?"

Dan teman saya hanya tersenyum.
"Men, gw gak pernah mengharapkan warisan apa pun dari Bapak gw.. Gw gak peduli. Mungkin emang Tuhan kasih jalan kayak gini, ya terimalah. Berarti kewajiban gw sekarang sebagai anak yang ngasih mereka sesuatu. Karena mereka udah membesarkan gw dengan cinta, lebih dari cukup. Maka ini saatnya gw membalas cinta mereka dengan sesuatu yang nyata. Gw sehabis kuliah bakal kerja keras, dan membangun istana keluarga gw sendiri!"

Hei, siapa yang bilang makan pake cinta itu bullshit?! Teman saya telah mematahkannya, keluarganya berpuluhtahun hidup dengan cinta. :)

P.S.:
Karena cinta bisa menghasilkan uang, dan tidak sebaliknya.

Wednesday, November 21, 2012

Miracle


"BALIK! BALIK!!!"

Saya menghentikan prosesi seluncur pasir dengan elevasi 45-60
◦ itu, lalu menaksir arah datangnya suara yang bersaing dengan deburan angin lereng Mahameru.

"BALIK! OIIII SALAH JALAN!"

Dengan jarak pandang seadanya, menyipitkan mata yang perih tersaput debu. Sesosok kecil mengibarkan bendera kuning nampak di kejauhan kembali berteriak.

Ke gue? Saya menoleh kanan-kiri memastikan, hening. Saya melongok ke atas, mengernyit. Masih nampak beberapa pendaki yang berlarian turun. Tapi masih terlalu jauh untuk diteriaki.

Irawan, teman seperjalanan saya yang sudah melesat jauh turun. Akhirnya nampak menghampiri dengan nafas tersengal.

Saya menaikkan sebelah alis. Ada apa?

"Ambil kiri. Salah jalan."

Saya melirik jalanan curam di depan. Eh, bukannya tadi lurus-lurus aja? Kok?.. Sembari berpikir bingung saya kembali berbalik arah, manut dengan yang lebih pengalaman.

"Yang tadi itu, kalau lurus terus, itu jurang. Banyak yang bablas disana. Patokannya itu ini, dulu pohon, cuma sekarang sudah tumbang habis letusan dulu.." Kawanan parung yang salah satunya mengibarkan bendera menunjuk seonggok kecil kayu di tempat peristirahatan kami.

"WOI! BALIIK! ARAH SINI!!!"

Tuhkan.. Ada yang salah lagi..

Saya bergidik. Apa jadinya jika tadi saya tersesat disana, untuk berakhir seperti batu nisan tak berjasad?

Entah mengapa, saya selalu memiliki firasat tak mengenakkan setiap mendaki gunung. Bukan terinspirasi Soe Hok Gie atau Wakil Menteri ESDM itu.. Tapi rasa takut itu selalu mampir begitu saja. Setiap merencanakan perjalanan, bahkan saat melangkahkan kaki di setiap jejaknya. Berkali saya bertanya pada diri sendiri, "Apakah ini perjalanan terakhir saya?"

Momen ini kembali teringat saat mengobrol santai ala anak kost dengan teman satu kantor saya, membicarakan mahasiswa Unibraw yang bulan lalu hilang saat turun dari puncak.

Pohon itu, yang ditunjuk sebagai patokan jalan, ialah Cemoro Tunggal. Dulunya dikatakan terdapat satu-satunya Pohon Cemara yang berdiri tegak di perbatasan vegetasi dengan medam berpasir.

Dan jurang itu, yang terletak di percabangan kanan dari arah puncak, dikatakan sebagai Blank 75. Ialah daerah jurang sedalam 75 meter yang konon merupakan titik terbesar dalam memakan korban jiwa.
(Sumpah, sangking awamnya saya, saya tidak tahu akan hal ini. Begitu pula dengan etika tidak menginjak batu. I am really sorry, mamen.. :p)

Pun mahasiswa itu, yang ditemukan 3 hari kemudian di "jembatan setan"..

Di tengah hujan deras yang tak henti, Iqbal tak putus asa, dengan semangat dan sisa tenaga yang dimilikinya, Iqbal memutuskan untuk mencari lokasi yang dianggap aman dari terjangan hujan untuk beristirahat, untunglah dia menemukan sebuah goa tak jauh dari lokasi.
"Tiga hari empat malam saya tersesat dan dua hari saya memilih bermalam di dalam goa yang ada disana," kata Iqbal. Hari demi hari tersesat, Iqbal memalaluinya dengan perut kosong dan rasa haus yang amat sangat. Beruntung, di hutan tempat dia tersesat banyak genangan air sisa-sisa air hujan. "Saya bersyukur karena saya bisa minum dari genangan air hujan itu," kata Iqbal.
Untuk mengisi perutnya yang kosong, Iqbal memakan buah-buahan hutan yang dia temukannya. "Untung di hutan itu banyak buah arbei, saya makan itu untuk tetap bertahan hidup,"kata Iqbal.
Sampai pada akhirnya Iqbal ditemukan tim SAR, empat hari setelah dia dinyatakan hilang. Iqbal ditemukan tengah duduk bersandar di bawah pohon di sekitar area Blank 75 tak jauh dari Pos Kalimati. [Sumber: http://obornews.com].
Ah. Jika memang di jurang kering berpasir dengan kerangka berserak di sekitarnya itu memang terdapat gua yang penuh air juga hutan yang kaya buah-buahan, maka sungguh Maha Besar Tuhan dengan segala kuasa-Nya. Keajaiban yang tidak masuk logika. Keajaiban milik Dia..

"Sumpah, Man! Aku yang temuin dia waktu itu, gak ada gua sama sekali! Kucari kanan-kiri, gak ada gua!!!"
 seorang teman, salah satu tim Mapala Rescue

Aih, Bang.. Makasih ya sudah menyelamatkan saya..

Saya pun tersenyum manis pada kawanan itu, lantas izin melanjutkan perjalanan terlebih dahulu, menuju Kalimati..
Monday, November 19, 2012

Takdir #2


"If it's meant to be, it will be. It's destiny... or not. "
[Music and Lyrics (2007)]

Lagi, secara kebetulan menguping pembicaraan dua orang yang sama di taman kota yang sama. Yang dahulu (mungkin saja) jatuh cinta pada pandangan pertama.

X: "Hei!" (Menyapa seorang yang sedang duduk melamun)
Y: (Menoleh kaget) "Hei, kebetulan! Darimana?"
X: "Habis ketemu Guru SMP, ditawarin ngajar di sekolahan dia.."
Y: "Wah iya? Sekolah bagus tuh, gak diterima aja?"
X: "Hmmm.. Bingung.."
Y: "Lho, bingung kenapa? Kamu gakmau ngajar?"
X: "Mau sih.. Cuma kalau jadi Guru, dengan kesederhanaan yang ada.."
Y: "Lah, gimana sih? Kalau memang gak siap dengan itu, kenapa kemarin memilih pendidikan?"
X: "Bukan.. Bukan itu. Tapi... Ah, kejauhan sih?"
Y: "Kejauhan dari rumah?"
X: "Bukan.. Rrrr, kalau.. Kalau saya jadi Guru, dengan segala kesederhanaannya.. Kamu... Mau?"
Y: "..." (Wajah memerah)

Lalu saya melengos cepat, pergi. Sebelum mendengar kelanjutannya. Sebelum malu sendiri dan deg-degan akan masa depan mereka. Masa depan dua orang yang kebetulan bertemu begitu saja.




♪ And if I open my heart to you, 
I'm hoping you'll show me what to do, 
And if you help me to start again, 
You know that I'll be there for you in the end! ♪

[Hugh Grant: Way Back Into Love]


Thursday, November 8, 2012

Nemo



Hello universe, howdy?

Hei. Terlambatkah jika saya mulai memasuki masa transisi ketika sudah setahun bekerja dalam bidang hura-hura? Menjadi overthink lantas bertanya pada pantulan cermin di kaca:
Am i supposed to be here?

Kemana? Dimana sesungguhnya passion saya tumbuh? Apa master plan saya untuk bertahun ke depan?

Sudah membeli monas kah, sedang berpesiar ke samudera arktik kah, atau sedang gendong anak kah? Kehidupan seperti apa yang ingin saya jalani... katakanlah, selamanya?

Detik transisi itu muncul ketika saya mulai menyadari bahwa saya bekerja tanpa jiwa. Tanpa keinginan lebih baik dari kemarin. Tanpa rasa ingin tahu akan hal-hal penting. Tanpa soul.

Mungkin karena saya terlalu banyak bercakap dengan orang-orang tua yang sudah banyak makan asam-garam kehidupan. Mungkin karena saya terlalu banyak berpikir dengan cara pandang mereka. Menjadi individu yang dituntut memilih menjadi dewasa.

Hingga saya tiba pada suatu titik, untuk memutar ulang perjalanan bertahun terakhir dan menghitung.. Berapa banyak kebaikan yang telah saya tanam pada diri sendiri dan orang lain? Berapa banyak ilmu yang saya mampu serap dan sebarkan pada orang banyak? Berapa kali, saya pernah bermanfaat meski sedikit? Ya, overthink, and so serious.

Dan disinilah saya. Merasa lelah dan tiba-tiba ingin berpindah haluan menjadi ibu rumah tangga. Jangan sampai. Karena ilmu dan usaha kemarin itu begitu bernilai jika hanya untuk terkunci dalam peti dan diam selamanya bukan?

Go ahead, you. Kamu bisa berubah, mulai saat ini dan seterusnya..

I think you are suppose to be there..
You have a dream there.. Then go grab it..
Don't let the small stuff stop you.. ^^

[Great Damn Oppa, salah satu mahluk berjenis spesies Mario Teguh]



♪ Let the sky fall
When it crumbles
We will stand tall
Face it all together ♪

[Adele: Skyfall]

Wednesday, November 7, 2012

Grow Up


"Pid, elu itu terlalu kecil untuk berpikir secara dewasa men. Makanya gw enggan cerita."

Ah. Dewasa itu pilihan.. Oom. Terkadang kita tahu bagaimana cara berpikir dengan dewasa idealnya, tetapi kita memilih tidak. Urang memilih bersikap tidak dewasa, karena menjadi dewasa hanya akan menyakiti urang, karena urang membohongi diri sendiri.

"Berarti, lu memang belum. Kali?"

Bisa jadi. Dewasa itu relatif. Dewasa juga punya standar, yang dihimpun dari orang kebanyakan. Tapi standarditas itu klasik. Mungkin, saya memang memiliki standar dewasa yang lebih rendah dibanding rata-rata dengan relativitas yang disesuaikan dengan situasi juga kondisi, so what?

Yang terpenting, kita tahu mana prioritas toh? Mana yang benar atau salah toh? Mana yang penting atau mudah diabaikan toh? Mana yang benaran atau bohongan toh?

Terlepas dari kita mau memilih yang mana, untuk menjadi hitam atau putih. Bahkan abu-abu sekali pun, itu pilihan. Seperti menjadi dewasa.

"Vid, dari semua ini, ada yang bisa diambil positifnya gak?" |
"Yaaaa, mungkin..." |
"Ada, apa nggak?" |
"Ada...kali, tapi yang pasti komen gak penting gitu gakkan merubah urang." |
"Ah, mengambil sisi positif bukan berarti harus berubah..kaleeee?"

Pfft. Cong, sepagian buta ternyata mendapat hasil kalau gosip di kantor lah suap2an, nyatronin kamar mesin, sama nongkrong bareng cowo2? Jadi, elu?!!!

Bener sih kata si Oom:
"Lah kan emang di lapangan adanya cowok semua, dikata lu mau ngobrol sama ikan duyung Vid?" =))
 

Koreksi


Pada suatu malam gaul, dalam tanding persahabatan futsal dengan client yang disusul main bola sodok lucu-lucuan.. yang banyak diantara pelakunya sok ahli atau saling menertawakan saat hanya menghasilkan pantulan bola putih tanpa mengenai apa-apa:

Saya: "Aih, pengen pipis.." /
Kakak pertama: "Berani gak?" /
Saya: Senyum-senyum menggoda. "Temeniiiin~"
Kakak pertama: Beranjak, memasang kuda-kuda menemani.
Saya: Kaget. "Eeeh? Nggak lah, bercanda. Sendiri aja kali. Itu deket disana kok Wc nya.."
Kakak kedua: "Yakin Vid?"
Saya: Heran. "Iyaa?!"

Saya lalu memutarkan bola mata sembari berpikir. Khawatir berlebihan lagi? Karena orang-orang disana menatap takzim saat saya lewat? Waeeee.

Sampai kapan saya akan terlena dengan sikap di'manja'kan seperti ini? Sampai kapan saya terbiasa digendong? Sampai kapan, saya dispesialkan, diberi jempol dengan Abah karena ikut bekerja malam di dek, dipuji Bapak tua hanya karena membantu menyimpankan Tang yang bergeletak begitu saja.. hanya karena bergenre perempuan? Lain daripada yang lainnya? Sebenernya saya benci, menjadi sorotan.

"Belum saatnya Vid, belum. Nanti juga maneh akan menggantikan posisi senior-senior lu ini. Yang memegang peranan membina generasi masa depan. Ahahahaha."

Dan, malam itu akhirnya saya pertama kali mulai merasa mengerti kakak kedua. Dengan persamaan gengsi, malu memperlihatkan kelemahan di depan orang asing. Rupanya itu basic dari inovasi juga revolusi yang diciptakannya. Gengsi tidak bisa. :p

"Kita punya pe-er Vid.. Belajar ini.." (mengisyaratkan menyodok bola di meja)
Terngiang adegan emosi jiwa saat membuat sebuah report,
saat berharap teman back-to-back menambahkan isinya,
tapi hanya memberi notes di dinding meja.
"Aing teu butuh koreksi, anjis" disertai tindakan dramatikal,
meremas sang kertas kuning, lalu melemparnya jauh-jauh.
Disusul tertawaan si Oom melatari kepribadian saya.
 
Saturday, November 3, 2012

Old Brother


Sepagian ini hujan turun seperti work hours seorang pekerja offshore, dua belas jam lebih. Tidak lebat tapi deras, sederas rindu pada sinar matahari. Yang dua hari kemarin sempat saya kesali karena alasan ingin dihubungi selalu. Hello, emansipasi itu tetap tidak akan pernah mengalahkan kodrat, kawan! Jantan mutlak menyatroni betina, dan selalu. Sejelas cetak biru.

Dan sesore itu di tengah ritual siang mendung, membuatkan kopi-susu untuk para kekanda sembari menghabiskan satu-dua peneman ngobrol antara saya dan dua senior saya yang kembar siam, ingat?

Yang satu langsung menghirup kopi, dengan suara seruputan khas yang biasa.

"Ahhhh, makin jago aja lu bikin kopi!" /
(Mesem-mesem bingah) "Yaa, tergantung suasana hati lah, Oom.." /
"Lah, katanya kemaren marahan?" /
"Hah, nggak. Bete aja harus ditelpon duluan.."

Hening sejenak.

"Eh, gua mau ketemu. Ajakin ketemu kita lah, Vid. Makan bareng! Gak usah bertiga deh, ntar Ukong bawa pacar, gua bawa istri. Gimana?"

Dan saya terbelalak, menyeruput kopi, salah tingkah. "Eh??? Buat apa?"

Lantas paras keduanya berubah serius, saling tatap. Lalu yang satu menyeloroh,
"Vid.. Lu itu keluarganya cewe semua. Kalau ketemu cowok, rasa tanggung jawabnya bakal lebih ada..."

Ah. Kenapa, peduli? Kenapa, khawatir? Karena, Tatang? Karena, saya tidak mau menonton film seri Korea itu?

Karena, kah kalian orang pertama yang saya terbukai di kantor? Karena kisah-kasih di bangku rooftop pada suatu Jumat petang?

Karena, kah perjalanan becek berjam-jam mengitari jalanan Tebet? Malam cengeng lalu berautis di Mcd?

Why?..

Critz, cerita atuh. Kita selalu ada buat maneh.
Kan,
we're Mbes family...

Saya mengulum perih, menahan butir yang menderas menuju permukaan.







♪ At night when the stars
Light up my room
I sit by myself
Talking to the moon.
Trying to get to you
In hopes you're on
The other side
Talking to me too.
Or am I a fool
Who sits alone
Talking to the moon? ♪

[Bruno Mars: Talking to The Moon]

 

Blog Template by BloggerCandy.com