Monday, February 27, 2012

Ego


Epik 1
Kapal - sejenis sea truck - menambat di dermaga nelayan. Tiga pria dewasa mengenyam kacang dan bir, bersenda. Melangkah satu-satu pada dek kapal, berteman kaleng kesayangan masing-masing. Merebah mencari gemintang yang tak muncul, sayang. Kali ini tak beruntung. Berharap lelap, namun besok matahari akan cepat terbit untuk kembali berkeringat.

Epik 2
Pelajaran penting, jangan jauh dari alat komunikasi sekaligus pengingat waktu. Jam penting terlewat, berbuah 'sedikit' kecewa. Ia tak sama Bapak. Yang menggoyangkan kereta seperti musuh besarmu. Ia hanya gugup, menularkannya padaku, untuk menunduk dan menghabiskan berbatang-batang tembakau hingga batuk.

Epik 3
Bingung. Kebersediaan yang bersyarat, namun tetap kukuh. Dengan kesetengahan. Temani yang tersesat, bersihkan labah-labah, perbaiki lambung yang bocor, juga terima odol yang tumpah dan tak bisa lagi dimasukkan dalam tabung. Kembali, deja vu. Semoga, kali ini bukan permainan kata. Karena terlalu mati untuk merasa.

Epik 4
Mari. Meminum kopi. Berlatar hujan deras yang tak wangi. Mari.

EPILOG
Nelayan itu masih melempar sauh. Dengan lampu-lampu terang berwarna-warni di Selat Makasar. Mereka belum pulang, meski rindu daratan. Mereka giat dan teguh, mengumpulkan berkuintal-kuintal ikan. Mereka kaya, sungguh. Namun, pada akhirnya mereka pasti kembali kepada rumah. Bukan hanya untuk menimbang, tapi menuju ke tempat dimana anak-anak berlarian riang dan menyambut dengan senyum. Disertai gigi putih bertemakan selamat datang. Rumah.

Ah. kali ini. Aku hanya mau bersantai dan tak kemana-mana. Menikmati hari tuaku. :)

Berburu pelangi tujuh warna..
Mendeskripsikan spektrum demi spektrum dengan lensa yang terbatas. Kini bias. Tapi akan selalu ada warna bagi pelukis sejati, yang tak lelah memadu cat minyak primer.
Semoga.

0 komentar:

 

Blog Template by BloggerCandy.com