Tuesday, March 6, 2012

Kanvas



Di luar hujan, sejak pagi. Cukup deras dan berangin. Untuk sayup didendangkan dengan segelas kopi dan setangkup roti keju. Untuk merelakan senyum yang terekspresi sempurna. Tanpa rikuh melakukan kebiasaan kecil yang manis, dan menghisap aroma baru. Mengatakan, sampai jumpa.

Dalam sela-sela syukur karena angan tidur panjang setelah olahraga 'santai' berkilo-kilo melalui medan naik turun dengan hiasan dihinggapi nyamuk berkali-kali, dilanjut autis insomnia memainkan orang-orang maya yang beranak tiga hingga hampir fajar, lalu mengarungi lautan dengan tentu saja menskip memejamkan mata (dan tanpa pening, kamu JAGOAN, Vidia!).. juga, perjuangan untuk menyentuh lelap tidak berhasil karena 200++ DB yang tak juga selesai diproses. Faaaaaaaaaaaaaaakeh~

Layar komputer berkedip. Menyadarkan saya masih 43% lamanya dari persen yang lain. Ah, seandainya saya tak terlihat mengantuk dan limbung, mungkin sekarang sedang tidur manis di Jetty akibat stand-by.. yang akan seperti surga terciprat hujan rintik Mahakam yang halus, dan dilengkapi ***.

Kali ini tiga bintang. Yang, oke.. masih malu saya ceritakan. Entah enggan mengakui, atau mungkin takut salah. Entahlah. Ya, seperti ada bola besar yang ingin dikeluarkan segera, namun karena pengecut disimpan dan secara sengaja ditahan-tahan hingga padam lalu mengecil untuk menyangkut di tengggorokan. Sudah.

Singkat cerita, secara tak sengaja.. dan tidak saya percayai hingga saat ini. Saya, mungkin saja, sepertinya.. bertemu, lagi. Mungkin untuk yang ketiga. Sekeping kristal salju. Yang indah dan rapuh, tak kasat mata, namun melumer ketika disentuh tubuh yang bersuhu tinggi. Sensitif. Sesensitif itu.

Untuk yang ada begitu saja, sebuah impulsif yang biasa dilakukan dalam gamang. Namun bersama diam merambat dan menjalar hangat. Mendetakkan kembali jemari yang kebas akibat berjuta tahun berdiri di tengah hujan deras di luar. Yang kucuri lirik dalam sela tangan yang menutup muka. Yang kutahan senyum yang terwujud. Yang kutahan bahagia, samar. Seperti malu pada matahari, menolak pada gravitasi. Bukan pura-pura, hanya saja skeptis akan kembali berbagi dunia saya satu-satunya. Takut, pada akhirnya, pada akhirnya.. hanya untuk dirampok dan dibawa pergi begitu saja. Menyisakan Bumi yang bopeng-bopeng tak utuh.

Jika kamu mau paham.
Sesungguhnya, saya sudah tak percayai warna pelangi. Hanya abu-abu yang selalu tertangkap lensa. Tapi.. saya memang rindu melukis. Serindu-rindunya. Dalam sebuah kanvas besar tak berbatas, berbekal berkaleng-kaleng tube cat minyak mahal yang wangi juga pintar bergradasi, dan berpuluh-puluh kuas tangguh yang bervariasi. Saya rindu. Seperti rindu akan waktu intim bersama Dia. 

Saya rindu menyelesaikan satu. Lalu tertawa puas. Ini karya saya, bagus kan? :)



Dan kita hilang ingatan tentang apa itu "rumah". Amnesia.

Mungkin kita memang perlu jangkar, momen-momen, benda-benda, orang-orang,
yang bisa mengikat ingatan lepas dan mengembalikan rumah menjadi sesuatu yang intim. 
Yang membuat betah dan memberi makna.
Mungkin juga cinta.

Pada seorang lelaki yang mencintai saya, saya bertanya, apakah makna rumah baginya.
Ia menatap ke dalam mata saya, menjawab tanpa ragu. Kamu.

[Avianti Armand: Arsitektur yang Lain]


Kamu, nduuut.
Lalu selesai, dan hening.

0 komentar:

 

Blog Template by BloggerCandy.com