Sunday, September 30, 2012

Jet Plane


Diamkan dan Abaikan mereka..


Pada dasarnya, saya ialah pemalu yang lemah.. Juga penakut yang cengeng. Yang gemetaran hingga didorong-dorong Ayah saat sekedar meminta saus sambal pada pelayan fast-food, atau tercekik saat berbicara di depan umum. Yang memilih menangis daripada pulang sendirian di malam hari, atau mematung saat mati lampu. Saya, pribadi seperti itu. Menyedihkan!

Lalu kenapa saya senang mendaki puncak-puncak tertinggi, mencoba meraih hal-hal yang berbeda, yang tidak semua orang bisa. Bermain lumpur, menentang badai, berjalan berhari-hari beratus kilo tidak mandi? Pantang berlindung di terik matahari, sengaja berhujan-hujanan, bahkan terjun bebas dari ketinggian sekian kaki? Karena, saya ingin lebih dari diri saya sendiri. Karena saya ingin mendobrak limit saya. Saya tak mau melulu menjadi yang dilindungi, melulu menjadi yang merepotkan, melulu jadi yang harus dibantu. Saya ingin menjadi kuat, menjadi hebat. Menjadi jagoan.

Itu alasannya, kenapa saya memberanikan diri di malam itu. Secara sadar dan tidak gila, untuk jalan beramai-ramai, dan tertawa bersama.. mereka. Meski sungguh, jemari saya bergemeletuk dan menatap pun tak sanggup. Meski sungguh, urat-urat muka terasa kaku dan tidak keruan. Saya bisa, dan sanggup menghadapinya. Karena saya jagoan.

"Ah.. Maneh bisanya ngomong doang. Kalau aslinya, malah sibuk maenin hape.."|
"Mampus maneh, mampus! Katanya berani, tapi kok jalannya menghindar?"|
"Lu tengil banget yak? Perasaan tadi gak gini, diem aja kerjaannya.."

Maneh mah, terlalu keras sama diri sendiri, Bociiiiel.
Selebor ah critz, kalau gak kuat ya bilang aja, gak usah sok kuat. Suka sok gak butuh bantuan orang lain sih..


PLAK!

Saya bisa koook, thankyouverymuch.
Dan terbukti karena saya sudah naik tingkat, karena sudah bisa bereaksi normal meski belum bisa berbincang seperti biasa. Meski masih dalam radius 5 meter.

Karena sudah pasti ada yang hilang.
Karena semua ada harga yang harus dibayar.



♪ But not for long girl
It's in the song girl
Cause I'll be gone bye bye bye yeah
Bye bye bye girl ♪

[Red Hot Chili Peppers: The Adventures of Rain Dance Maggie]

Friday, September 28, 2012

Bintang Timur


Jika perjalanan menelusuri Kerajaan Rinjani ialah perjalanan jiwa bagi saya dimana saya kehilangan seorang "teman", maka perjalanan kali ini ialah perjalanan hati. Menuju Mahameru saya menemukan cinta. Esa hilang dua terbilang.

Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat.
Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.
Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring dan bukan digiring...

Musim itu musim kering. Saat angin bertiup kencang dan suhu dingin menghunus tulang tak main-main. Dari angka empat hingga minus dua. Saat cuaca beku nakal menelusup ke buku-buku jari, membangunkan siapa saja yang sok merasa hebat tak melindungi diri dengan pakaian tebal. Alam mengerucut, butir es serut menghiasi para tenda pendaki di pagi buta.

Perjalanan saya kali ini istimewa. Karena, pada akhirnya saya berhasil menemui sang pujaan hati sejak dahulu. Mahameru.. oh Mahameru. Berapa tahun sudah saya bersabar untuk bertemu denganmu, 8 tahun ya? Mungkin lebih. Karena rindu itu menggelegak tumpah saking senangnya. Karena, dia. Teman satu perjalanan saya yang sok cool dan gemar menyeruput es kopi. Si Tuan Reseh. Yang memanjakan tapi tak meniadakan. Yang mendorong tapi tak menjatuhkan. Yang melepas tapi melindungi.


Yang rapat, tapi tak membebat.
Yang memegang tanganku, tapi tak terlalu erat.
Yang seiring, dan bukan menggiring.

Namanya Aa, A dan a. Duplikasi huruf abjad pertama. Pertama kali bertemu pada suatu musim cerah di bulan Juni, berteman aliran sungai bintang juga padang perairan yang luas. Aa bukan kunang-kunang malam, yang mengajakku terbang. Juga bukan bunga dandelion, yang senang menanti hembusan angin. Apalagi matahari panas, yang meledak membakar habis Bumi.

Aa hanya menyuruhku berjalan, lagi dan lagi.

Tidak menyerah. Menuju puncak. Menuju kejora.

Aa. Ialah seorang yang ditakdirkan Tuhan.
Untuk membuat saya merasa, bahwa saya sangat berharga.

P.S.: ...






Itulah bintangku
Bintang kejora
yang indah s'lalu..

Wednesday, September 19, 2012

Kunang-kunang


“The very basic core of a man's living spirit is his passion for adventure.The joy of life comes from our encounters with new experiences, and hence there is no greater joy than to having an endlessly changing horizon, for each day to have a new and different sun.”
Jon Krakauer: Into the Wild


"Ya, elo gak bakal terus di laut kan? Udah ada bayangan dong ntar gimana dan cari pasangan hidup yang kayak apa?"

Diskusi "generasi muda penerus bangsa" ini terjadi di sebuah swalayan plus-plus tempat nongkrong Anak Gaul Tebet, pada suatu sore terik Ibukota. Pertanyaan itu muncul dari teman saya si dagu panjang hitam yang entah mengapa yakin dengan kegantengan dan nilai dirinya yang tinggi. Cih. Bersama 'partner in crime' di masa lampau yang baru diterima di perusahaan tambang cukup besar, yang dibayar dengan menjadi warga tetap pada pulau terluas di Indonesia dengan jatah cuti 12hari setahun. Poor ya, buddy! :p

Dan.. Berbicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi Atlet.. sesungguhnya, atau menjadi pelukis, atau pemusik, atau reporter, baru kemudian insinyur. Dan disinilah saya menjalani takdir sebagai cita-cita kelima. Seorang insinyur yang gemar bercerita sambil melukis dan merasa hampa tanpa musik, yang juga hobi berolahraga. I think this is enough for now. Nanti, who knows, kan?

Kalau ditanya kriteria pasangan hidup, saya menjawab mantap.. Yang jelas satu: bukan surpenyor. Karena mereka senang berkelana dan jauh dari keluarga telah terjejak abadi dalam darah mereka. Karena saya tidak mau suatu saat anak saya berteriak pada suami saya yang baru datang ke rumah: "Bu, ada Oom pulang! Oom pulang!!!" :D

Oh please, i'm not f*cking with their money, right?! Mungkin seorang guru, atau dosen. Yang bersahaja, yang bangun pagi, lalu pulang setiap hari setelah sukses membangun karakter para remaja. Dan gemar menghabiskan sore dengan meminum kopi. Menikmati hidup. Sesederhana itu.

Dan mungkin kemudian saya pulang di malam hari dengan keadaan rumah sudah rapi serta masakan hangat dan wangi mengepul di udara. Wakaka, ngarep lo! :p

Entah. Saya hanya menjalani detik demi detak jantung yang berbunyi. Menikmati alam semesta, yang entah bagaimana pun mereka berkonspirasi, akan mengantar saya suatu saat.. pada titik dimana saya berkata: cukup.


Karena pengembara tidak perlu mengenal kata pulang.

Karena pulang hanya akan membuatnya berhenti bermimpi..

Monday, September 17, 2012

Eden


Hari ini saya cengeng. Karena hal sensitif serentak bertubi berurutan berbunyi. Pengang.

Pagi yang penuh rasa kantuk, diisi dengan acara kesukaan Ibu dan Ayah: refreshing menembak. Terlempar pada sebuah momen, saat seorang anak perempuan kecil, berbekal walkman biru bergambar manusia jebol berambut jingkrak hijau sebagai penutup telinga.. tertidur di lapangan rumput nyenyak. Menunggu kedua orangtuanya yang asyik bertaruh angka dengan sebuah laras panjang dan berbutir-butir peluru tajam. Anak kecil itu hanya ingat desingan yang pekak, namun dijalari rasa hangat karena melihat mereka bahagia. Atas keberterimaan batalyon-nya.

Dan disini, hampir dua dekade kemudian, saya memberanikan diri tersesat di tengah sekumpulan paruh baya yang senang bersenda menggunakan seragam loreng-loreng. Berumur tapi bangga. Menahan-menahan diri nyaman dengan obrolan dahulu dan dahulu, lalu ditutup dengan pesan: "Jagain Ibu..", saya tersenyum. Parau.

Seakan melengkapi, saya diingatkan dengan janji berbumbu khawatir tiga hari lalu. Tentang melepaskan, tentang kembali pada rel, tentang Leo dan Cancer. Tentang takdir. Dan lagi-lagi pertanyaan saya terjawab begitu saja seperti turun dari langit. Dan saya memilih konsekwen, memilih memegang janji yang saya buat bagi diri saya sendiri bersama Tuhan. Saya paham.

Lalu, siapa sangka sosok angin yang saya kenal sepintas seperti hembusan nafas beberapa bulan lalu sekonyong hadir?

Dengan tujuan yang seharian tadi saya hindari karena sedang cengeng. Karena seharian tadi.. tawa lepasnya yang menyisakan celah karena gigi gerahamnya telah dicabut satu akibat kebanyakan mengunyah tembakau, sosok kuatnya, lagak jagoannya, terus lalu menerus lekat bermain dalam pikiran, membuat berat kepala.

"Aku minta dianter buat ketemu Ayah, karena aku serius.."

Kupukul kencang tulangmu yang padat tapi pipih. Lalu terdiam. Cengeng.

Ah, biarkan semesta yang menunjukkan jalannya. Jika memanh begitu adanya.
Biarkan, biarkan semesta yang mengambil alih.
Karena kita hanya pengendara angin. :)

♪ Did you ever think of me as your best friend
And did i ever think of you 
I'm not complaining 
I never tried to feel.. 
I never tried to feel this vibration 
I never tried to reach.. 
I never tried to reach your eden ♪

[Hooverphonic: Eden]

Wednesday, September 12, 2012

Kuda


"We're both just people who worry about the breaths we take, not how we breathe."
[Ika Natasha: Antologi Rasa]

Sampai kapan kau akan terus berlindung di balik logo anak bawangmu?
Puas dengan bego / tak yakin / krisis percaya diri agar bisa terus-menerus lari dan bersembunyi?

Ah, anak bawang itu aku. Yang kecewa karena tidak pandai menari.

Aku ialah sesiung anak bawang. Yang hidup malu-malu tapi angkuh seperti kucing. Lahir dari perkawinan silang bibit unggul bawang cerdas dan bawang berani. Diharapkan menjadi bibit unggul lainnya yang mau meng-upgrade diri sendiri dan perlu banyak disuntik multivitamin agar menjadi tangguh.

Aku terlahir prematur. Memberanikan diri melompat pada Laut Cina Selatan di musim taifun ketika baru bisa berenang. Bukankah aku biasa mahir karena keadaan terdesak dan tertekan? Konvensional, tapi sakti. Tapi tidak kali ini. Kemudaan membuatku gentar dengan benda asing yang tinggi teknologi. yang begitu sensitif disentuh tanganku yang amatir. Aku gemetar. Ditaksir berulang kali, ditimbang, diuji, dinilai dengan seksama.

Aku. Tidak biasa menjadi yang terendah. Aku anak bawang yang angkuh, ingat? Anak domba yang ingin dianggap singa, kecil tapi sudah berbahaya.

Dan, disinilah aku. Menenggak kopi dengan kalap. Saat sirine bertubi bagai palu godam di kepala, menjerit:
Kuda takkan pernah mau dikekang. Ia hanya tahu berlarian bebas di padang rumput yang luas, menikmati keindahan alamnya.

Aku ialah sesiung anak bawang. Yang hidup malu-malu tapi angkuh seperti kucing. Menimbun berkarung beras untuk ditukarkan dengan padang rumput luas dan indah. Untuk berlarian bebas.

Sampai kapan?

Sunday, September 9, 2012

Pekat


Aku hanyalah bintang. Yang hanya mampu menerangi dirinya sendiri. Sesekali menjadi penunjuk arah bagi nelayan yang tersesat. Namun hilang timbul, bergantung pada konstelasi langit.

Aku hanya bintang. Yang terang tapi tak menerangi. Papa dan tak berdaya.

Malam resah kali itu. Bagaimana tidak? Bulan merajuk, menghilang digantikan mendung. Petir ribut bergemuruh, mempersaingkan kilatan siapa yang paling kencang. Lalu hujan turun deras. Sempurna melahap tawa yang juga tersedak asin air mata. Perfect.

Karena itu, aku selalu membutuhkan matahari.

Aku hanya bintang. Bukan matahari. Dan selamanya tak bisa menjadi matahri. Aku tak bisa merubah malam menjadi siang. Aku statis. Aku hanya benda langit yang bercahaya untuk diriku sendiri. Bersinar, tapi tak menyinari.

Aku benar butuh matahari, sebagai Dewa Kehidupan Semesta. Sebagai hakim, sebagai penanda hari, sebagai patokan arah kiblat.

Bukan kejora, meski indah. Aku butuh matahari. Butuh matahari. Aku butuh.
Matahari.

Bukan. Bukan matahari yang itu. Yang pernah membumihanguskan suatu kehidupan pada masa lampau. Ini matahari sejati, yang hanya mengenal kata menghidupkan.

P.S.:
Kamu, tidak pernah pantas lagi, kusebut matahari.


♪ Running and hiding
Take and dividing
You've got your secrets
I've only got a sleeping sun ♪

[Coldplay: Sleeping Sun]

Gingsul


Adik bungsu saya memang tidak sempurna. Terlahir dengan kelebihan panca indera, namun kurang dalam intelejensia.

Sulit berkonsentrasi, terlambat berkembang jauh dari anak seusianya. Selalu perlu penanganan khusus, dilimpahi perhatian, serta sikap yang sangat dewasa. Adik bungsu saya, istimewa.

Pernah suatu ketika, di sela rutinitas pijat kayu putih antara aku dan Ayah, beliau menatap sedih. Untuk tidak berharap banyak, untuk selalu dijaga.. sekuat tenaga, bagaimanapun keadaannya..

Dan pada suatu sore dalam acara potong kuku - kutek pink - obrol santai dengan sang adik bungsu, yang terkadang bercerita tentang hal di luar akal sehat (termasuk teman imajinernya yang benci shalat dan mengikuti kemana saja, apa saja, kapan saja). Saya ringan bertanya tentang masa yang ditinggalkan karena memacul di luar rumah. Masa-masa yang sungguh ingin saya tukar dengan apa saja agar dapat kembali. Masa rumah yang lengang, yang pada siang hari hanya berisi dia, Ayah, dan Eyang.

Windi masih suka uleng-uleng?

"Enggak.. Ayah kan batuk, capek katanya.."

Oh.. Titip pesen gak sama Windi waktu itu?

"Iyahhh.."

Sejenak mata bola-nya mengerjap-ngerjap. Saya kembali sibuk mewarnai kuku, berpura tidak tertarik.

"Kata Ayah.. Windi jangan nangis. Windi itu jantung Ayah. Kalau Windi nangis, Ayah juga ikut nangis.."

Saya mematung. Lalu kuusap rambutnya yang bergelombang, yang kini poninya totorombolan akibat aksi potong sendiri, lalu tersenyum ikik.

Ayah bilang gitu? Makanya Windi jarang nangis lagi ya?
Dan dia hanya diam. Matanya kosong menatap ke depan. Tersedot masa lalu.

Ayah, anak bungsumu yang istimewa, rupanya berisi. Rupanya bisa mengingat kata-katamu dengan detil. Dengan sempurna. Dia mendengar, Ayah. Dia memahami. Dia mengerti.

Bukankah, meski dia selalu bertanya mengapa Ayah pergi dan tidak pulang-pulang, dia sungguh tahu Ayah dimana? Dia selalu tak sabar dengan kunjungan kita, bersemangat menabur bunga, dan mencium nisanmu dengan riang. Dia paham. Dia lebih dari itu, percayalah..

Saya sungguh malu. Karena seringkali kata-katamu hanya masuk dan keluar telinga begitu saja.

"Kakak. Ayo main serigala!
Tapi, Ayah gak bisa main itik-itik lagi sama Windi ya?"

Ayah. Sejuta milyar kali pun tak cukup, untuk berkata bahwa kami kangen padamu. Sekali.

 

Blog Template by BloggerCandy.com