Sunday, September 9, 2012

Gingsul


Adik bungsu saya memang tidak sempurna. Terlahir dengan kelebihan panca indera, namun kurang dalam intelejensia.

Sulit berkonsentrasi, terlambat berkembang jauh dari anak seusianya. Selalu perlu penanganan khusus, dilimpahi perhatian, serta sikap yang sangat dewasa. Adik bungsu saya, istimewa.

Pernah suatu ketika, di sela rutinitas pijat kayu putih antara aku dan Ayah, beliau menatap sedih. Untuk tidak berharap banyak, untuk selalu dijaga.. sekuat tenaga, bagaimanapun keadaannya..

Dan pada suatu sore dalam acara potong kuku - kutek pink - obrol santai dengan sang adik bungsu, yang terkadang bercerita tentang hal di luar akal sehat (termasuk teman imajinernya yang benci shalat dan mengikuti kemana saja, apa saja, kapan saja). Saya ringan bertanya tentang masa yang ditinggalkan karena memacul di luar rumah. Masa-masa yang sungguh ingin saya tukar dengan apa saja agar dapat kembali. Masa rumah yang lengang, yang pada siang hari hanya berisi dia, Ayah, dan Eyang.

Windi masih suka uleng-uleng?

"Enggak.. Ayah kan batuk, capek katanya.."

Oh.. Titip pesen gak sama Windi waktu itu?

"Iyahhh.."

Sejenak mata bola-nya mengerjap-ngerjap. Saya kembali sibuk mewarnai kuku, berpura tidak tertarik.

"Kata Ayah.. Windi jangan nangis. Windi itu jantung Ayah. Kalau Windi nangis, Ayah juga ikut nangis.."

Saya mematung. Lalu kuusap rambutnya yang bergelombang, yang kini poninya totorombolan akibat aksi potong sendiri, lalu tersenyum ikik.

Ayah bilang gitu? Makanya Windi jarang nangis lagi ya?
Dan dia hanya diam. Matanya kosong menatap ke depan. Tersedot masa lalu.

Ayah, anak bungsumu yang istimewa, rupanya berisi. Rupanya bisa mengingat kata-katamu dengan detil. Dengan sempurna. Dia mendengar, Ayah. Dia memahami. Dia mengerti.

Bukankah, meski dia selalu bertanya mengapa Ayah pergi dan tidak pulang-pulang, dia sungguh tahu Ayah dimana? Dia selalu tak sabar dengan kunjungan kita, bersemangat menabur bunga, dan mencium nisanmu dengan riang. Dia paham. Dia lebih dari itu, percayalah..

Saya sungguh malu. Karena seringkali kata-katamu hanya masuk dan keluar telinga begitu saja.

"Kakak. Ayo main serigala!
Tapi, Ayah gak bisa main itik-itik lagi sama Windi ya?"

Ayah. Sejuta milyar kali pun tak cukup, untuk berkata bahwa kami kangen padamu. Sekali.

0 komentar:

 

Blog Template by BloggerCandy.com