Dahulu, di hari suci pada Bulan November beberapa tahun silam. Saya temukan sosok tak berbobot, berjalan menunduk dan membenci hidup. Tapi kala itu, saya lihat pantulan utuh yang tercermin. Akan menikmati surya terbenam di ujung lautan, juga ketakutan akan sepi. Sosok itu sangat malu-malu, hati-hati, juga perasa. Dan ketika ia mengajak saya memutar Bumi, saya menghindar. Dengan alasan keberanian, penegakkan kepala, juga keteguhan hati.
Lama waktu berselang, sosok itu tumbuh. Dari yang menunduk menjadi sekuat matahari. Tapi, tetap sama, perasaannya masih selembut bunga dandelion yang rapuh berhembus ditiup angin. Saya tersenyum, sosok itu berkembang menjadi besar. Juga mendapati kesungguhannya terhadap seorang penyabar, lembut, dan ringkih. Saya amati berbulan-bulan, merekatkan yang retak, ikut tertawa saat yang tak boleh jadi direstui. Saya, pihak luar yang melihat, membangun, dan tak meminta apapun.
Musim berganti, entah apa saja yang berganti disana. Yang semula setipis serbuk bunga menjadi menebal sekeras karang. Yang semula biasa berjalan kaki, menjadi lupa susahnya berjalan kaki ketika diberi kemudahan alat transportasi. Saya rangkum semua kabar angin, saya masukkan kabar yang murni dari hati. Bahwa sosok itu masih tulus, dan semakin besar. Yang kukagumi diam-diam, dan sudah. Kuamati lagi dia berlari.
Kepercayaan, selama bertahun-tahun tentang mengenali. Yang membuat saya memberikan nilai yang begitu besar. Salah besar satu kali, saya bangkitkan yang terjatuh, saya usap yang bersedih. Saya tunda, berbulan lamanya, dengan mencampuradukkan rasa keinginan memutar Bumi dan keikhlasan. Dengan mempertimbangkan semua akan baik-baik saja bila bersama. Saya percaya, seyakin itu, bahwa garis tangan saya tak akan bercabang lagi. Hanya menunjuk ke utara, seterusnya. Dengan kompas tak kasat mata juga cahaya mercusuar yang tak lelah menunjukkan arah. Saya percaya, Demi Allah, seyakin itu. Saya, masuk, dan tak lagi menjadi pihak luar. Kini saya terlibat.
Namun laksana roller-coaster yang naik dan turun, rupanya tak mudah. Terlampau jauh bedanya, mengamati dengan turun tangan. Yang dulu saya yakini hal baik yang menjadi dasar, berbuah kecewa. Yang dulu saya dukung karena kebaikan, berbuah salah paham. Pemahaman, penerimaan, juga pengertian akan apa yang salah, menjadi sangat sulit, apabila dirasakan dari dalam. Tapi kembali lagi, saya percaya, dan seyakin itu, terhadap sesosok lembut berhati mulia. Saya pegang semua janji, manis dan mengembangkan sayap. Bahwa saya jatuh cinta. Bahwa sesukar apapun, saya rela memutar Bumi. Saya patok ia di puncak tertinggi, saya sembah ia sebagai Dewa. Sebagai pusat kehidupan, sebagai calon anak laki-laki pertama yang selalu dinantikan sosok nomor satu di dunia. Titik.
Lalu, saya salah.. Salah besar.
Tiba-tiba tercantum sebuah nama, sebagai alasan di balik gak pulang-pulang dalam perjuangan hidup juga mati. Nama yang tak pernah saya duga, yang tak pernah saya cap buruk meski wanita-wanita itu iya. Yang selalu saya ikut tersenyum, menggoda sayang, bahkan lega saat membaca tulisan berbunga-bunga. Yang baru saya ketahui belakangan, bersama darah yang mengalir, akibat sosok yang selalu saya bagi. Ya.. si bunga dandelion. Yang kini kering seperti kaktus. Tak berperasaan, kasar laksana batu kali.
Dia, yang mungkin tak menganggap saya siapa-siapa karena lagi-lagi hanya mengamati dari kejauhan. Yang semula lugu, mengalir mengikuti arus. Dipermainkan ombak, lalu tumbuh dewasa. Menjadi hobby hidup tak beraturan. Menjadi hobby menjelajahi tempat tinggi. Menjadi hobby, bekerja di pagi buta, ditemani bercangkir bijih kopi. Sempurna. Entah siapa, wajar kan kalau sekarang saya berpikiran negatif, merasa risih dan diam-diam mengerutkan kening lalu bertanya, kepada siapa kamu bercermin?
Lantas kemudian selalu saya tepis pikiran konyol itu cepat. Saya katakan, bahkan kepadanya, bahwa selama dia tak lelah menghadapi kami, untuk menjadi kotak sampah dan kaleng bocor, lebih dari cukup. Itu jauh lebih dari cukup. Mungkin, hingga saat itu, saya anggap dia satu-satunya. Meski yang lain menjauh pergi dan melontarkan basa-basi, selama dia tak pergi, saya merasa berarti. Saya merasa, utuh..
Dan pada akhirnya, pada siapa yang tak akan pernah saya curigai. Pada siapa yang tak akan pernah saya salahkan. Pada siapa yang tak akan pernah saya abaikan. Yang selalu saya tanyai, saya ceritai, saya jujuri. Hancur pada suatu malam dimana, saya benar-benar merasa sendirian.
Hingga, pada sore hari yang lagi-lagi mengisyaratkan hujan lebat. Saya temukan ia, menghibur bunga dandelion yang tak lagi saya kenal. Kenapa, pada akhirnya, selalu sosok itu yang menangis, dan ditemani?
Kali ini, saya paham benar.
Meski bertahun-tahun, tak akan pernah lagi saya percaya dan yakin. Juga sok-sok menjadi tameng orang lain.
Meski bertahun-tahun, tak akan pernah lagi saya tersenyum untuk orang lain.
Cukup..
Saya tak akan lagi kepedean, atau gede rasa, untuk mempedulikan lagi yang lain.
Tidak akan.
Karena ternyata, saya bukan siapa-siapa.
Saya.. nothing.
Erin: I really thought that we were something.
Garrett: We were. We were something.
[Going the Distance (2010)]
0 komentar:
Post a Comment