Friday, December 21, 2012

Peluk


Hari ini dan kemarin masih sama. Sejak detik saat saya menyadari satu hal dan memutuskan berhenti, kembali berhenti memercayai orang asing. Berhenti untuk takjub pada sesuatu yang dinamakan kebetulan dan konspirasi alam semesta untuk sebuah perjalanan. Berhenti, pada titik tidak mengenali dan tidak merasakan apa-apa.

Hati saya mungkin memang sekeras itu. Untuk mudah membatu karena tersenggol di bagian paling sensitif, tentang keluarga. Bahwa bagi saya tidak ada toleransi untuk menyepelekan masalah oranglain seberapapun kecilnya bagi kita. Bahwa bagi saya tidak ada toleransi membandingkannya dengan masalah sendiri untuk kemudian merasa bahwa cerita saya lah yg paling hebat. Bagi saya, tidak ada toleransi, terlebih ketika orang tersebut jarang sekali bercerita mengenai hal-hal yang paling pribadi mengenai dirinya.

Dan perjalanan membawa saya pada suatu pendirian dan ketetapan hati. Untuk kembali menjadi sekeras batu. Begitu saja. Tidak terselamatkan.

Terimakasih. Untuk pemicu menjadi tahap pendewasaan. Untuk pemicu akal sehat, yg kemarin melambung jauh melangkahi rasionalitas karena sebuah harapan. Harapan tentang impian yang semakin menjauh.

Dan di saat-saat ini ketika pekerjaan mengambang akibat sistem, di saat jam malam membuat pikiran saya terbang berlarian kesana kemari. Beruntung saya masih bisa bercerita dan mendapat asupan energi dari kakak lelaki kehitaman saya yang manis tetapi menyebalkan karena terlalu sering khawatir untuk hal yang tak perlu. Tenanglah, saya ini lebih tangguh daripada seekor kuda liar. :D

Untuk prosesi kala mendengar apa yang tak terucap, merasa apa yang tidak diperlihatkan, juga berbagi energi positif yang menghasilkan senyum. Saya berjanji, tidak akan pernah menyerah. :)

Kamsha hamnidaaaa. Transfer berton-ton energi selesai dilakukan. Karena kita ialah keluarga, selamanya~

P.S.:
Juga berton-ton kangen untuk Oom dan Tante yang berbahagia atas lahirnya fkecil-junior dengan sempurna. Semoga, masih ada kesempatan bagi saya untuk mengikutinya tumbuh besar. Amin. :D

*Di bawah sungai bintang perairan Mahakam, merasa hangat dengan jaket pinjaman yang wangi.

Monday, December 3, 2012

S(e)tabil(o)


Dalam perjalanan riuh di Ibukota malam itu, seorang teman sejak lama - yang entah mengapa akhir2 ini diperebutkan oleh vampir betina juga gadis penggembala sapi (yang entah mengapa saya ujug-ujug disebut di dalam ceritanya) - bertanya ringan pada saya:

"Maneh, sudah stabil belum?.." |
"Eh? Dari apa?" |
"Yang waktu itu.." |
"Oh! Sudah. Sepertinya." |
"Siapa yang membuat maneh stabil?" |
"Hmmm.. Waktu. Juga lingkungan, termasuk kalian kan? :)"

Baik dalam rekan kerja yang bersekongkol menghapus memori tercetak secara diam-diam juga melarang habis-habisan jika saya mulai menyanyi lagu galau. Baik dari keluarga yang menertawakan kenapa mesti mentok sama yang meninggalkan pergi. Baik dari teman-teman terdekat yang siap sedia setia saya pulang ke Bandung demi sekedar karaoke atau berhaha-hihi hingga pagi. Yang rupanya setelah setahun (?) berhasil menghantarkan saya pada suatu sikap "ealah dia doang" lantas tertawa terbahak bila mengingat kebodohan yang pahit itu. Karena waktu, dan semesta di dalamnya mendukung saya untuk berdamai. Berdamai dengan hal-hal yang menyakitkan.

Meski hingga kini, sifat jahanam saya masih merangsek untuk bercanda mengamini subjek-subjek yang nilai-dia-bagi-saya-telah-berubah-sejak-saat-itu akan hal konyol. Seakan mengalami distraksi cara memandang seseorang. Yah begitulah. Hehe.

Dan si teman sejak lama ini hanya mesam-mesem akibat adegan sikut perhatian yang dilebih-lebihkan. Karena, perasaan sih, saya tidak sedang merebut siapa-siapa saat ini. Wkwkw.

Beruntunglah, diharapkan membelah diri menjadi tiga oleh wanita-wanita yang (mayoritas) luarbiasa. Karena, entah apa yang terjadi, jika Anda tidak ada disana, sebagai kapasitor kami. :D

P.S.:
Sebagai pesanan untuk menggenapi yang sudah-sudah. Teruntuk tempat pulang semua orang gelisah, yang mana telah menjadi psikolog tercanggih sedunia. Temkyu!

Thursday, November 29, 2012

Cukup Makan Cinta


Teringat kisah seorang teman, yang mana keluarganya hidup sungguh naif. Karena, mereka hanya mengenal satu kata: CINTA.

Bapak teman saya itu dahulu kaya raya. Saat itu mendapat suatu kesempatan juga materi yang, katakanlah, meski tidak besar-besar amat, cukup untuk diinvestasikan menjadi sesuatu bagi anak-anaknya kelak.

Tapi, entah apa pasalnya, tanpa diskusi dengan siapapun, semua materi itu lenyap tak berbekas. Menjadi tahi

Lalu sang Bapak jatuh sakit, keras. Di tengah segala keterpurukannya itu, Ibu teman saya pernah mengumpat.. "Lo itu bego, duit kemaren dikemanain? Coba lo ambil, beliin apa kek, udah punya apa aja kita sekarang? Gakkan hidup susah kayak gini. Sekarang lo sakit, bisa ngasih apa ke anak-anak? Jangankan warisan. Hutang! Lo mati cuma ninggalin hutang!"

Sang Bapak diam. Dan meski berkata kasar, sang Ibu mengurus sisa hidup suaminya tanpa henti. Tanpa pamrih perhiasan-perhiasan. Tanpa berusaha meracuni dengan iming-iming asuransi jiwa yang cukup besar.

Saya menghela nafas, lalu bertanya pada teman saya:
"Nah..lu, apa yang lu rasakan?"

Dan teman saya hanya tersenyum.
"Men, gw gak pernah mengharapkan warisan apa pun dari Bapak gw.. Gw gak peduli. Mungkin emang Tuhan kasih jalan kayak gini, ya terimalah. Berarti kewajiban gw sekarang sebagai anak yang ngasih mereka sesuatu. Karena mereka udah membesarkan gw dengan cinta, lebih dari cukup. Maka ini saatnya gw membalas cinta mereka dengan sesuatu yang nyata. Gw sehabis kuliah bakal kerja keras, dan membangun istana keluarga gw sendiri!"

Hei, siapa yang bilang makan pake cinta itu bullshit?! Teman saya telah mematahkannya, keluarganya berpuluhtahun hidup dengan cinta. :)

P.S.:
Karena cinta bisa menghasilkan uang, dan tidak sebaliknya.

Wednesday, November 21, 2012

Miracle


"BALIK! BALIK!!!"

Saya menghentikan prosesi seluncur pasir dengan elevasi 45-60
◦ itu, lalu menaksir arah datangnya suara yang bersaing dengan deburan angin lereng Mahameru.

"BALIK! OIIII SALAH JALAN!"

Dengan jarak pandang seadanya, menyipitkan mata yang perih tersaput debu. Sesosok kecil mengibarkan bendera kuning nampak di kejauhan kembali berteriak.

Ke gue? Saya menoleh kanan-kiri memastikan, hening. Saya melongok ke atas, mengernyit. Masih nampak beberapa pendaki yang berlarian turun. Tapi masih terlalu jauh untuk diteriaki.

Irawan, teman seperjalanan saya yang sudah melesat jauh turun. Akhirnya nampak menghampiri dengan nafas tersengal.

Saya menaikkan sebelah alis. Ada apa?

"Ambil kiri. Salah jalan."

Saya melirik jalanan curam di depan. Eh, bukannya tadi lurus-lurus aja? Kok?.. Sembari berpikir bingung saya kembali berbalik arah, manut dengan yang lebih pengalaman.

"Yang tadi itu, kalau lurus terus, itu jurang. Banyak yang bablas disana. Patokannya itu ini, dulu pohon, cuma sekarang sudah tumbang habis letusan dulu.." Kawanan parung yang salah satunya mengibarkan bendera menunjuk seonggok kecil kayu di tempat peristirahatan kami.

"WOI! BALIIK! ARAH SINI!!!"

Tuhkan.. Ada yang salah lagi..

Saya bergidik. Apa jadinya jika tadi saya tersesat disana, untuk berakhir seperti batu nisan tak berjasad?

Entah mengapa, saya selalu memiliki firasat tak mengenakkan setiap mendaki gunung. Bukan terinspirasi Soe Hok Gie atau Wakil Menteri ESDM itu.. Tapi rasa takut itu selalu mampir begitu saja. Setiap merencanakan perjalanan, bahkan saat melangkahkan kaki di setiap jejaknya. Berkali saya bertanya pada diri sendiri, "Apakah ini perjalanan terakhir saya?"

Momen ini kembali teringat saat mengobrol santai ala anak kost dengan teman satu kantor saya, membicarakan mahasiswa Unibraw yang bulan lalu hilang saat turun dari puncak.

Pohon itu, yang ditunjuk sebagai patokan jalan, ialah Cemoro Tunggal. Dulunya dikatakan terdapat satu-satunya Pohon Cemara yang berdiri tegak di perbatasan vegetasi dengan medam berpasir.

Dan jurang itu, yang terletak di percabangan kanan dari arah puncak, dikatakan sebagai Blank 75. Ialah daerah jurang sedalam 75 meter yang konon merupakan titik terbesar dalam memakan korban jiwa.
(Sumpah, sangking awamnya saya, saya tidak tahu akan hal ini. Begitu pula dengan etika tidak menginjak batu. I am really sorry, mamen.. :p)

Pun mahasiswa itu, yang ditemukan 3 hari kemudian di "jembatan setan"..

Di tengah hujan deras yang tak henti, Iqbal tak putus asa, dengan semangat dan sisa tenaga yang dimilikinya, Iqbal memutuskan untuk mencari lokasi yang dianggap aman dari terjangan hujan untuk beristirahat, untunglah dia menemukan sebuah goa tak jauh dari lokasi.
"Tiga hari empat malam saya tersesat dan dua hari saya memilih bermalam di dalam goa yang ada disana," kata Iqbal. Hari demi hari tersesat, Iqbal memalaluinya dengan perut kosong dan rasa haus yang amat sangat. Beruntung, di hutan tempat dia tersesat banyak genangan air sisa-sisa air hujan. "Saya bersyukur karena saya bisa minum dari genangan air hujan itu," kata Iqbal.
Untuk mengisi perutnya yang kosong, Iqbal memakan buah-buahan hutan yang dia temukannya. "Untung di hutan itu banyak buah arbei, saya makan itu untuk tetap bertahan hidup,"kata Iqbal.
Sampai pada akhirnya Iqbal ditemukan tim SAR, empat hari setelah dia dinyatakan hilang. Iqbal ditemukan tengah duduk bersandar di bawah pohon di sekitar area Blank 75 tak jauh dari Pos Kalimati. [Sumber: http://obornews.com].
Ah. Jika memang di jurang kering berpasir dengan kerangka berserak di sekitarnya itu memang terdapat gua yang penuh air juga hutan yang kaya buah-buahan, maka sungguh Maha Besar Tuhan dengan segala kuasa-Nya. Keajaiban yang tidak masuk logika. Keajaiban milik Dia..

"Sumpah, Man! Aku yang temuin dia waktu itu, gak ada gua sama sekali! Kucari kanan-kiri, gak ada gua!!!"
 seorang teman, salah satu tim Mapala Rescue

Aih, Bang.. Makasih ya sudah menyelamatkan saya..

Saya pun tersenyum manis pada kawanan itu, lantas izin melanjutkan perjalanan terlebih dahulu, menuju Kalimati..
Monday, November 19, 2012

Takdir #2


"If it's meant to be, it will be. It's destiny... or not. "
[Music and Lyrics (2007)]

Lagi, secara kebetulan menguping pembicaraan dua orang yang sama di taman kota yang sama. Yang dahulu (mungkin saja) jatuh cinta pada pandangan pertama.

X: "Hei!" (Menyapa seorang yang sedang duduk melamun)
Y: (Menoleh kaget) "Hei, kebetulan! Darimana?"
X: "Habis ketemu Guru SMP, ditawarin ngajar di sekolahan dia.."
Y: "Wah iya? Sekolah bagus tuh, gak diterima aja?"
X: "Hmmm.. Bingung.."
Y: "Lho, bingung kenapa? Kamu gakmau ngajar?"
X: "Mau sih.. Cuma kalau jadi Guru, dengan kesederhanaan yang ada.."
Y: "Lah, gimana sih? Kalau memang gak siap dengan itu, kenapa kemarin memilih pendidikan?"
X: "Bukan.. Bukan itu. Tapi... Ah, kejauhan sih?"
Y: "Kejauhan dari rumah?"
X: "Bukan.. Rrrr, kalau.. Kalau saya jadi Guru, dengan segala kesederhanaannya.. Kamu... Mau?"
Y: "..." (Wajah memerah)

Lalu saya melengos cepat, pergi. Sebelum mendengar kelanjutannya. Sebelum malu sendiri dan deg-degan akan masa depan mereka. Masa depan dua orang yang kebetulan bertemu begitu saja.




♪ And if I open my heart to you, 
I'm hoping you'll show me what to do, 
And if you help me to start again, 
You know that I'll be there for you in the end! ♪

[Hugh Grant: Way Back Into Love]


Thursday, November 8, 2012

Nemo



Hello universe, howdy?

Hei. Terlambatkah jika saya mulai memasuki masa transisi ketika sudah setahun bekerja dalam bidang hura-hura? Menjadi overthink lantas bertanya pada pantulan cermin di kaca:
Am i supposed to be here?

Kemana? Dimana sesungguhnya passion saya tumbuh? Apa master plan saya untuk bertahun ke depan?

Sudah membeli monas kah, sedang berpesiar ke samudera arktik kah, atau sedang gendong anak kah? Kehidupan seperti apa yang ingin saya jalani... katakanlah, selamanya?

Detik transisi itu muncul ketika saya mulai menyadari bahwa saya bekerja tanpa jiwa. Tanpa keinginan lebih baik dari kemarin. Tanpa rasa ingin tahu akan hal-hal penting. Tanpa soul.

Mungkin karena saya terlalu banyak bercakap dengan orang-orang tua yang sudah banyak makan asam-garam kehidupan. Mungkin karena saya terlalu banyak berpikir dengan cara pandang mereka. Menjadi individu yang dituntut memilih menjadi dewasa.

Hingga saya tiba pada suatu titik, untuk memutar ulang perjalanan bertahun terakhir dan menghitung.. Berapa banyak kebaikan yang telah saya tanam pada diri sendiri dan orang lain? Berapa banyak ilmu yang saya mampu serap dan sebarkan pada orang banyak? Berapa kali, saya pernah bermanfaat meski sedikit? Ya, overthink, and so serious.

Dan disinilah saya. Merasa lelah dan tiba-tiba ingin berpindah haluan menjadi ibu rumah tangga. Jangan sampai. Karena ilmu dan usaha kemarin itu begitu bernilai jika hanya untuk terkunci dalam peti dan diam selamanya bukan?

Go ahead, you. Kamu bisa berubah, mulai saat ini dan seterusnya..

I think you are suppose to be there..
You have a dream there.. Then go grab it..
Don't let the small stuff stop you.. ^^

[Great Damn Oppa, salah satu mahluk berjenis spesies Mario Teguh]



♪ Let the sky fall
When it crumbles
We will stand tall
Face it all together ♪

[Adele: Skyfall]

Wednesday, November 7, 2012

Grow Up


"Pid, elu itu terlalu kecil untuk berpikir secara dewasa men. Makanya gw enggan cerita."

Ah. Dewasa itu pilihan.. Oom. Terkadang kita tahu bagaimana cara berpikir dengan dewasa idealnya, tetapi kita memilih tidak. Urang memilih bersikap tidak dewasa, karena menjadi dewasa hanya akan menyakiti urang, karena urang membohongi diri sendiri.

"Berarti, lu memang belum. Kali?"

Bisa jadi. Dewasa itu relatif. Dewasa juga punya standar, yang dihimpun dari orang kebanyakan. Tapi standarditas itu klasik. Mungkin, saya memang memiliki standar dewasa yang lebih rendah dibanding rata-rata dengan relativitas yang disesuaikan dengan situasi juga kondisi, so what?

Yang terpenting, kita tahu mana prioritas toh? Mana yang benar atau salah toh? Mana yang penting atau mudah diabaikan toh? Mana yang benaran atau bohongan toh?

Terlepas dari kita mau memilih yang mana, untuk menjadi hitam atau putih. Bahkan abu-abu sekali pun, itu pilihan. Seperti menjadi dewasa.

"Vid, dari semua ini, ada yang bisa diambil positifnya gak?" |
"Yaaaa, mungkin..." |
"Ada, apa nggak?" |
"Ada...kali, tapi yang pasti komen gak penting gitu gakkan merubah urang." |
"Ah, mengambil sisi positif bukan berarti harus berubah..kaleeee?"

Pfft. Cong, sepagian buta ternyata mendapat hasil kalau gosip di kantor lah suap2an, nyatronin kamar mesin, sama nongkrong bareng cowo2? Jadi, elu?!!!

Bener sih kata si Oom:
"Lah kan emang di lapangan adanya cowok semua, dikata lu mau ngobrol sama ikan duyung Vid?" =))
 

Koreksi


Pada suatu malam gaul, dalam tanding persahabatan futsal dengan client yang disusul main bola sodok lucu-lucuan.. yang banyak diantara pelakunya sok ahli atau saling menertawakan saat hanya menghasilkan pantulan bola putih tanpa mengenai apa-apa:

Saya: "Aih, pengen pipis.." /
Kakak pertama: "Berani gak?" /
Saya: Senyum-senyum menggoda. "Temeniiiin~"
Kakak pertama: Beranjak, memasang kuda-kuda menemani.
Saya: Kaget. "Eeeh? Nggak lah, bercanda. Sendiri aja kali. Itu deket disana kok Wc nya.."
Kakak kedua: "Yakin Vid?"
Saya: Heran. "Iyaa?!"

Saya lalu memutarkan bola mata sembari berpikir. Khawatir berlebihan lagi? Karena orang-orang disana menatap takzim saat saya lewat? Waeeee.

Sampai kapan saya akan terlena dengan sikap di'manja'kan seperti ini? Sampai kapan saya terbiasa digendong? Sampai kapan, saya dispesialkan, diberi jempol dengan Abah karena ikut bekerja malam di dek, dipuji Bapak tua hanya karena membantu menyimpankan Tang yang bergeletak begitu saja.. hanya karena bergenre perempuan? Lain daripada yang lainnya? Sebenernya saya benci, menjadi sorotan.

"Belum saatnya Vid, belum. Nanti juga maneh akan menggantikan posisi senior-senior lu ini. Yang memegang peranan membina generasi masa depan. Ahahahaha."

Dan, malam itu akhirnya saya pertama kali mulai merasa mengerti kakak kedua. Dengan persamaan gengsi, malu memperlihatkan kelemahan di depan orang asing. Rupanya itu basic dari inovasi juga revolusi yang diciptakannya. Gengsi tidak bisa. :p

"Kita punya pe-er Vid.. Belajar ini.." (mengisyaratkan menyodok bola di meja)
Terngiang adegan emosi jiwa saat membuat sebuah report,
saat berharap teman back-to-back menambahkan isinya,
tapi hanya memberi notes di dinding meja.
"Aing teu butuh koreksi, anjis" disertai tindakan dramatikal,
meremas sang kertas kuning, lalu melemparnya jauh-jauh.
Disusul tertawaan si Oom melatari kepribadian saya.
 
Saturday, November 3, 2012

Old Brother


Sepagian ini hujan turun seperti work hours seorang pekerja offshore, dua belas jam lebih. Tidak lebat tapi deras, sederas rindu pada sinar matahari. Yang dua hari kemarin sempat saya kesali karena alasan ingin dihubungi selalu. Hello, emansipasi itu tetap tidak akan pernah mengalahkan kodrat, kawan! Jantan mutlak menyatroni betina, dan selalu. Sejelas cetak biru.

Dan sesore itu di tengah ritual siang mendung, membuatkan kopi-susu untuk para kekanda sembari menghabiskan satu-dua peneman ngobrol antara saya dan dua senior saya yang kembar siam, ingat?

Yang satu langsung menghirup kopi, dengan suara seruputan khas yang biasa.

"Ahhhh, makin jago aja lu bikin kopi!" /
(Mesem-mesem bingah) "Yaa, tergantung suasana hati lah, Oom.." /
"Lah, katanya kemaren marahan?" /
"Hah, nggak. Bete aja harus ditelpon duluan.."

Hening sejenak.

"Eh, gua mau ketemu. Ajakin ketemu kita lah, Vid. Makan bareng! Gak usah bertiga deh, ntar Ukong bawa pacar, gua bawa istri. Gimana?"

Dan saya terbelalak, menyeruput kopi, salah tingkah. "Eh??? Buat apa?"

Lantas paras keduanya berubah serius, saling tatap. Lalu yang satu menyeloroh,
"Vid.. Lu itu keluarganya cewe semua. Kalau ketemu cowok, rasa tanggung jawabnya bakal lebih ada..."

Ah. Kenapa, peduli? Kenapa, khawatir? Karena, Tatang? Karena, saya tidak mau menonton film seri Korea itu?

Karena, kah kalian orang pertama yang saya terbukai di kantor? Karena kisah-kasih di bangku rooftop pada suatu Jumat petang?

Karena, kah perjalanan becek berjam-jam mengitari jalanan Tebet? Malam cengeng lalu berautis di Mcd?

Why?..

Critz, cerita atuh. Kita selalu ada buat maneh.
Kan,
we're Mbes family...

Saya mengulum perih, menahan butir yang menderas menuju permukaan.







♪ At night when the stars
Light up my room
I sit by myself
Talking to the moon.
Trying to get to you
In hopes you're on
The other side
Talking to me too.
Or am I a fool
Who sits alone
Talking to the moon? ♪

[Bruno Mars: Talking to The Moon]

Monday, October 29, 2012

Hidupku yang Sengsara


Senin pagi di penghujung Oktober. Di sela lautan Neptunus yang (akhirnya) hujan. Menjadi biru gelap, dengan awan sempurna mendung. Pelayaran Jawa-Kalimantan ini sungguhan sempurna sentimentil.

Kau tahu. Pekerjaan menjadi satu-satunya pelaut junior perempuan, dimana perbedaan minimum terpaut 3 tahun, bukanlah suatu yang begitu menyenangkan. Saat semua bercampur-aduk menjadi satu, melalui proses adaptasi yang rumit.

"Vid, ketek gua bau banget lah. Dua hari doang padahal gak mandi. Coba deh." *secara licik diam-diam dengan cepat mengoleskan sesuatu yang basah + asam telak di lubang hidung, berakibat aromanha langsung menusuk ubun-ubun

"Vid.. Vid.." *memasukkan baju ke kepala, you know what i mean, iya.. daki-daki itu, keringat lengket itu, iakh!

"Rambut lu bagus deh!" *menarik-narik seperti tali kekang kuda

"Eh iya ya, enakeun!" *yang ini ditarik ke belakang sempurna

"Entar yak, gw bikin kunciran lu lebih menarik!" *melingkarkan selotip karet merah-kuning-merah pada rambut terkuncir, si objek penderita pasrah karena sibuk cuci piring alat gali tanah

"Vid, tau gak? Produk penghalus wajah di salon itu ada yang dibuat dari lumpur kaya gini!" *secepat kinton meraih lumpur sisa coring, lalu mengoleskannya di wajah

"Vid, habis waladholin apa? Apa? Amiiiiiiinnnn.." *mengusap kedua tangan penuh hitam-bau besi karat-bercampur grease-lengket ke muka

"Elu, kalau mau.. Nanti gua anterin, ke bec, itu gak diupgrade-upgrade ram otaknya.." *sehabis ringan menjeplak jidat setelah sebelumnya beralasan klasik itu poninya benerin

Sialan. Andai saja itu bukan kalian. Kakak seperguruan yang saya sayangi. Entah sudah semuntab apa saya.

Ah. Dengan kalian. Saya secara alami hanya menjadi gadis manja yang berteriak spontan lalu balas mencubit atau memukul bahkan menyemprot air. Hanya itu, tiada sakit hati atau merasa dibully-bully. Hanya hangat, karena mungkin sebagai ungkapan care.

"Kangen adek gua si Uneng, Vid. Makanya lu harusnya bangga, oranglain belum tentu gua mau jailin. Belum tentu.."

Katanya lagi deket sama cowok ya? Awa doain lah, semoga kriterianya kaya yang lu aminin waktu itu. Hehe..

Crit, kalau lagi kangen Bapak. Itu artinya Bapak minta didoain. Ayo sholat, mumpung bawa mukena kan?

Friday, October 26, 2012

Cecoro


Ketika waktu yang dihabiskan bersama orang-orang ini, lebih banyak dari siapapun juga dalam berbulan terakhir..
Ketika medan memang mengisolasikan diri dari dunia luat tanpa ampun sama sekali.
Ketika yang dipandangi hanya biru, biru, dan biru. Hanya mereka yang itu saja. Ketika mereka membentukmu yang sejati, tentang penerimaan, tentang pembaharuan, tentang pendewasaan, tentang dunia.

Percayalah, lautan sungguh tepat bagi orang yang dinamis. Yang membenci stagnansi, yang benci hiruk-pikuk kota. Yang benci, mereka yang manipulatif. Karena lautan sungguh seapa-adanya. Tiada tempat bagi topeng-topengan, lumuran terigu, apalagi barang imitasi.

Absolut, saya tidak akan pernah mau. Terkhusus bertemu Anda. Mereka pun akan kamu sontek kah?

Gaya? Kecil. Penampilan? Apalah. Kesukaan? Monggo. Selera? Jug. Hobi? Apa aja boleh. Asalkan jangan lautan, lautan tempat saya berkelana. Dimana saya terhindar jauh sekali dari lakumu yang membuat alergi.

Bukan sombong, hanya iritasi.
Bukan memaki, hanya menjengit.
Bukan dengki, juga iri, atau benci, apalagi kheki..
Hanya alergi. Hanya alergi.

Alergi. Dengan imitasi.

"Ah Vid, jadi hare-hare maneh mah. Tara sigap nyieun kopi deui.." /
"Gara-gara si Umar Bakri nih. Eh siapa, Aa Gepeng ya? Apa si Tatang? Gyahaha Tatang mah udah ke laut kali yee~"

Gak Oom. Lain ka laut si eta mah.
Jangankan ke laut, maju satu meter aja susah. Wkwk.
 
Monday, October 15, 2012

Belief


Karena, terkadang kita harus keluar dari zona nyaman untuk menjadi besar.
Karena orang besar ialah orang yang mau mencoba mendaki puncak tertinggi juga palung yang terdalam..


Bulan ini bulan paling gabut sedunia. Di kantor ongkang-ongkang kaki, masuk sesiang-siangnya, cabut semaunya.

Ketika waktu luang terbentang sangat luas hingga salah satu teman pun bisa mencetuskan tanya status kepegawaian saya disana: Ente dipecat, Ngil?.. Shit man! Mungkin karena saking seringnya saya terlihat leluasa bersantai di Bandung. Saya sudah kelamaan di darat tanpa ada kerjaan yang jadi hambatan melaut memang, tolong!? ╰( ̄﹏ ̄)╯

Beberapa hari kemarin, keberangkatan saya dibatalkan dengan alasan konyol, kamar penuh. Karena wanita dispesialkan, satu kabin untuk dia seorang. Ini lah kan, minusnya kapal di negara kita, tidak one man one room. Jadinya perhitungan kalau kaum hawa naik.

Dan di tengah nesu-nesu saya untuk mangkir karena sepertinya ke depan akan sering terpentok masalah seperti ini.. tapi bingung entah kemana, tawaran itu pun bermunculan seperti turun dari langit begitu saja. Ajakan mengelilingi dunia, begitu MENGGIURKAN.

Tapi, tapi, dan tapi...

Hingga di Senin sore ini saya menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan di balkon pengasingan, mencoba merangkum tumpukan tapi menjadi sebuah keputusan. Mencoba atau tidak.

"Ah kau, kan belum tentu diterima juga? Kenapa segalau itu buat nyoba aja?"|

"Men, bagi urang galau itu ketika memutuskan buat coba apa nggak, bukan waktu tau hasilnya. Itu mah resiko karena udah nyoba, justru tahap awal ini yang menentukan seberapa niat kita untuk bekerja disana.."

See?

So, why so serious, Vidia~

Friday, October 12, 2012

UsangAsingAsong


Seperti deja vu,

Ingat momen empat tahun silam.. Jauh sebelum orang itu menikah tepat dua hari sebelum Ayah pergi sehingga janji saya untuk datang harus diabaikan; jauh sebelum orang tersebut meminta bertemu, berkali-kali sebelumnya, setelah masa dua tahun perang dingin, yang terserang penyakit akut: grogi; jauh sebelum manusia bodoh ini beralih karena anomali; jauh-jauh, sebelum Ayah & Ibu bertanya mengenai seorang yang berkuliah sama dengan Tante Dewi, di jurusan yang Ayah ingini dan lolos tapi terpentok biaya.

Sore hari. Di gerbang Salman. Mang-mang jual majalah. Bercanda tentang satu orang yang mencari-cari sedari tadi. Perawakan itu, mata itu, dan kata-kata: "Kayanya beda sama yang di foto ya? Yang ini chubby.."

Atau mari merangkak ke satu tahun sebelumnya.. Lebih jauh lagi sebelum jengah melihat mereka yang lebih bebal dari cangkang penyu; sebelum konferensi konyol bersama orang-orang kepala batu; sebelum perjalanan halus tapi menyakitkan; sebelum permusuhan para wanita; sebelum merasa menemukan partner terbaik; jauhhhhh.. sebelum menyaksikan metamorfosa seorang penunduk dan penakut menjadi yang selalu menegakkan kepala dan berhati besi.

Lagi-lagi sore hari. Di bangku-bangku koridor depan perpustakaan besar. Mahasiswa pikuk berlalu-lalang. Seseorang memanggil dengan minim percaya diri. Sorot itu, mata itu, dan kata-kata: "Halo..."

Bagian mana? Ialah ketika menemukan seorang asing yang menunggu di tengah keramaian. Saat menerka, menilai ini-itu, lalu memilih. Saat orang ini menjelma menjadi image, menjadi figure, memiliki peranan, dan memiliki porsi hingga bertahun kemudian. Orang-orang asing di ujung jalan.

Seperti orang asing yang empat bulan lalu minta dibuatkan teh hangat di pagi hari. Atau orang asing yang sebulan lalu di warung mie pertigaan lampu merah yang habis berkendara jauh dan tiba terlalu malam. Atau yang baru saja, sekitar dua pekan lalu, menanti di pinggir jalan membawa ransel besar, dengan kalimat pertama: "Pantesan lama, kok naik bus yang ini?"

Orang-orang asing yang saya persilahkan masuk di ruang tamu,

yang beruntung bisa mendapat kunci rumah.

"Yah, kemaleman. Padahal mau minta anterin.." |
"Hah? Kemana?" |
"Ketemu Ayah.."

Ah.. Siapa bilang orang asing itu penculik, penjambret, penghiptonis, bahkan pemerkosa?

Orang-orang asing ini pernah membuat saya merasa menemukan rumah. Rumah yang juga bisa membuat saya tetap bermimpi. Tempat tiada lagi yang harus disembunyikan termasuk berkata: "Aku kangen~"



♪ So kiss me and smile for me
Tell me that you'll wait for me
Hold me like you'll never let me go

Cause I'm leavin' on a jet plane
Don't know when I'll be back again ♪

[John Denver: Leaving on A Jet Plane]

Thursday, October 11, 2012

Fear


Iya saya takut.
Takut dengan si Caris Hipsip entah apalah namanya itu dan alat ukur bersensor tiga yang asing bagi saya.
Takut bertemu seorang kapal yang makin gila saja akhir2 ini dan prosesi hindar-penghindaran yang nampaknya akan sulit nanti.

Takut menghadapi mcu yang kedua kali dan mendapatkan hasil bahwa rupanya saya sakit parah.

Takut terhadap angka 20x10^6 dan 2x7, terhadap rumput padung, terhadap bianglala, terhadap struk-struk dokter.

Saya takut, saya mati besok atau lusa dan melalaikan semuanya. Menjadi tidak berguna.

Dan... juga,
Saya takut kehilangan cinta kamu. #eaaa




♪ Dan ku akui tanpa kemunafikan
Ku cinta kau
Bahwasannya keakuanku bersumpah
Ku cinta kau ♪

[Iwan Fals: Yang Tersendiri]
Friday, October 5, 2012

Perasaan


Kau tahu arti perasaan "kosong"?
Saat bahagia tidak, sedih pun tidak.
Saat malam hening. Tiada suara jangkrik, maupun makhluk malam lainnya. Hanya ada suara kipas angin yang berderik di sudut kamarmu.

Itu kosong. Hampa.

Atau,
Pernah mendengar cerita si kecil Selly, yang meragu menyebrangi sungai hanya dengan pijakan batu licin di tengah derasnya aliran air?

Itu kosong. Itu hampa.

Karena itu, saya sungguh benci.
Dan sungguh menghindari.
Sesuatu yang rapuh dan malu-malu, yang datang lagi kali ini.

Membawa berjuta kecemasan juga asumsi yang dibuat-buat. Bernama perasaan.



... "Lantas?" Andi, seperti biasa tidak sabaran.
"Lantas apanya?" Pak Tua tertawa kecil, menggoda.
Andi memasang wajah sebal. "Musik dan cinta tadi, Pak Tua."

Pak Tua memperbaiki selimut di kaki.
"Ya, cinta itu macam musik yang indah. Bedanya, cinta sejati akan membuatmu tetap menari meskipun musiknya telah lama berhenti."


(Tere Liye: Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah)


Wednesday, October 3, 2012

...


Sore ini saya bermimpi, melihat Aki Imat. Tertawa berderai di tengah tamu yang melayat. Ramai sekali. Aki, lalu siapa yang akan ngahuapan saat Aki autis main game?

Aki, tabah ya. Kehilangan cinta untuk selamanya, entah bagaimana rasanya. Tapi Aki orang hebat. Yang akan selalu tersenyum. :)

Ucritz
Tuesday, October 2, 2012

Kilat


Apa rasanya, memercayakan hidup kita.. pada seorang asing yang kita kenal secara tak sengaja pada suatu liburan impulsif selama dua hari? Apa rasanya, membuka pintu lebar-lebar, bahkan mengijinkannya masuk.. pada seorang asing yang kemudian kau ketahui bobot-bebet-bibitnya, yang ternyata jauh dari mereka yang terdahulu.. yang berkilau akan lulusan universitas terbaik atau besar rupiah yang tertera di jidat mereka?

Apa rasanya, jika selanjutnya, kau bisa berhenti kebas, lalu move on karena orang asing itu? Kau bisa kembali tertawa dalam arti sesungguhnya, bahkan berhenti melirik dengki pada orang yang kau benci, karena dia?

Rasanya, murahan.
Karena percaya pada khayalan.
Seperti menganggap Bluebird itu anak Burok.
Seperti yakin Skybridge akan benar beroperasi di Bandung.
Seperti memainkan Cepot, yang bisa menganga lebar ketika ditarik benang di punggungnya.

Murahan, tapi benar adanya.
Kali ini aku memilih berkelana.
Berharap menemukan rumah.
Dengan dipandu kejora.

"Menjadikan dua hati yang manunggal dalam satu jiwa.."

Ndut, biarkan tetap disini yah! :)

N. D. U. T.
Saya membenturkan kepala di dinding keras-keras.
Berharap isinya tumpah lalu meresap ke dalam tanah.
Murudul. Gugulutukan nepi ka tungtung.
Sunday, September 30, 2012

Jet Plane


Diamkan dan Abaikan mereka..


Pada dasarnya, saya ialah pemalu yang lemah.. Juga penakut yang cengeng. Yang gemetaran hingga didorong-dorong Ayah saat sekedar meminta saus sambal pada pelayan fast-food, atau tercekik saat berbicara di depan umum. Yang memilih menangis daripada pulang sendirian di malam hari, atau mematung saat mati lampu. Saya, pribadi seperti itu. Menyedihkan!

Lalu kenapa saya senang mendaki puncak-puncak tertinggi, mencoba meraih hal-hal yang berbeda, yang tidak semua orang bisa. Bermain lumpur, menentang badai, berjalan berhari-hari beratus kilo tidak mandi? Pantang berlindung di terik matahari, sengaja berhujan-hujanan, bahkan terjun bebas dari ketinggian sekian kaki? Karena, saya ingin lebih dari diri saya sendiri. Karena saya ingin mendobrak limit saya. Saya tak mau melulu menjadi yang dilindungi, melulu menjadi yang merepotkan, melulu jadi yang harus dibantu. Saya ingin menjadi kuat, menjadi hebat. Menjadi jagoan.

Itu alasannya, kenapa saya memberanikan diri di malam itu. Secara sadar dan tidak gila, untuk jalan beramai-ramai, dan tertawa bersama.. mereka. Meski sungguh, jemari saya bergemeletuk dan menatap pun tak sanggup. Meski sungguh, urat-urat muka terasa kaku dan tidak keruan. Saya bisa, dan sanggup menghadapinya. Karena saya jagoan.

"Ah.. Maneh bisanya ngomong doang. Kalau aslinya, malah sibuk maenin hape.."|
"Mampus maneh, mampus! Katanya berani, tapi kok jalannya menghindar?"|
"Lu tengil banget yak? Perasaan tadi gak gini, diem aja kerjaannya.."

Maneh mah, terlalu keras sama diri sendiri, Bociiiiel.
Selebor ah critz, kalau gak kuat ya bilang aja, gak usah sok kuat. Suka sok gak butuh bantuan orang lain sih..


PLAK!

Saya bisa koook, thankyouverymuch.
Dan terbukti karena saya sudah naik tingkat, karena sudah bisa bereaksi normal meski belum bisa berbincang seperti biasa. Meski masih dalam radius 5 meter.

Karena sudah pasti ada yang hilang.
Karena semua ada harga yang harus dibayar.



♪ But not for long girl
It's in the song girl
Cause I'll be gone bye bye bye yeah
Bye bye bye girl ♪

[Red Hot Chili Peppers: The Adventures of Rain Dance Maggie]

Friday, September 28, 2012

Bintang Timur


Jika perjalanan menelusuri Kerajaan Rinjani ialah perjalanan jiwa bagi saya dimana saya kehilangan seorang "teman", maka perjalanan kali ini ialah perjalanan hati. Menuju Mahameru saya menemukan cinta. Esa hilang dua terbilang.

Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat.
Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.
Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring dan bukan digiring...

Musim itu musim kering. Saat angin bertiup kencang dan suhu dingin menghunus tulang tak main-main. Dari angka empat hingga minus dua. Saat cuaca beku nakal menelusup ke buku-buku jari, membangunkan siapa saja yang sok merasa hebat tak melindungi diri dengan pakaian tebal. Alam mengerucut, butir es serut menghiasi para tenda pendaki di pagi buta.

Perjalanan saya kali ini istimewa. Karena, pada akhirnya saya berhasil menemui sang pujaan hati sejak dahulu. Mahameru.. oh Mahameru. Berapa tahun sudah saya bersabar untuk bertemu denganmu, 8 tahun ya? Mungkin lebih. Karena rindu itu menggelegak tumpah saking senangnya. Karena, dia. Teman satu perjalanan saya yang sok cool dan gemar menyeruput es kopi. Si Tuan Reseh. Yang memanjakan tapi tak meniadakan. Yang mendorong tapi tak menjatuhkan. Yang melepas tapi melindungi.


Yang rapat, tapi tak membebat.
Yang memegang tanganku, tapi tak terlalu erat.
Yang seiring, dan bukan menggiring.

Namanya Aa, A dan a. Duplikasi huruf abjad pertama. Pertama kali bertemu pada suatu musim cerah di bulan Juni, berteman aliran sungai bintang juga padang perairan yang luas. Aa bukan kunang-kunang malam, yang mengajakku terbang. Juga bukan bunga dandelion, yang senang menanti hembusan angin. Apalagi matahari panas, yang meledak membakar habis Bumi.

Aa hanya menyuruhku berjalan, lagi dan lagi.

Tidak menyerah. Menuju puncak. Menuju kejora.

Aa. Ialah seorang yang ditakdirkan Tuhan.
Untuk membuat saya merasa, bahwa saya sangat berharga.

P.S.: ...






Itulah bintangku
Bintang kejora
yang indah s'lalu..

Wednesday, September 19, 2012

Kunang-kunang


“The very basic core of a man's living spirit is his passion for adventure.The joy of life comes from our encounters with new experiences, and hence there is no greater joy than to having an endlessly changing horizon, for each day to have a new and different sun.”
Jon Krakauer: Into the Wild


"Ya, elo gak bakal terus di laut kan? Udah ada bayangan dong ntar gimana dan cari pasangan hidup yang kayak apa?"

Diskusi "generasi muda penerus bangsa" ini terjadi di sebuah swalayan plus-plus tempat nongkrong Anak Gaul Tebet, pada suatu sore terik Ibukota. Pertanyaan itu muncul dari teman saya si dagu panjang hitam yang entah mengapa yakin dengan kegantengan dan nilai dirinya yang tinggi. Cih. Bersama 'partner in crime' di masa lampau yang baru diterima di perusahaan tambang cukup besar, yang dibayar dengan menjadi warga tetap pada pulau terluas di Indonesia dengan jatah cuti 12hari setahun. Poor ya, buddy! :p

Dan.. Berbicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi Atlet.. sesungguhnya, atau menjadi pelukis, atau pemusik, atau reporter, baru kemudian insinyur. Dan disinilah saya menjalani takdir sebagai cita-cita kelima. Seorang insinyur yang gemar bercerita sambil melukis dan merasa hampa tanpa musik, yang juga hobi berolahraga. I think this is enough for now. Nanti, who knows, kan?

Kalau ditanya kriteria pasangan hidup, saya menjawab mantap.. Yang jelas satu: bukan surpenyor. Karena mereka senang berkelana dan jauh dari keluarga telah terjejak abadi dalam darah mereka. Karena saya tidak mau suatu saat anak saya berteriak pada suami saya yang baru datang ke rumah: "Bu, ada Oom pulang! Oom pulang!!!" :D

Oh please, i'm not f*cking with their money, right?! Mungkin seorang guru, atau dosen. Yang bersahaja, yang bangun pagi, lalu pulang setiap hari setelah sukses membangun karakter para remaja. Dan gemar menghabiskan sore dengan meminum kopi. Menikmati hidup. Sesederhana itu.

Dan mungkin kemudian saya pulang di malam hari dengan keadaan rumah sudah rapi serta masakan hangat dan wangi mengepul di udara. Wakaka, ngarep lo! :p

Entah. Saya hanya menjalani detik demi detak jantung yang berbunyi. Menikmati alam semesta, yang entah bagaimana pun mereka berkonspirasi, akan mengantar saya suatu saat.. pada titik dimana saya berkata: cukup.


Karena pengembara tidak perlu mengenal kata pulang.

Karena pulang hanya akan membuatnya berhenti bermimpi..

Monday, September 17, 2012

Eden


Hari ini saya cengeng. Karena hal sensitif serentak bertubi berurutan berbunyi. Pengang.

Pagi yang penuh rasa kantuk, diisi dengan acara kesukaan Ibu dan Ayah: refreshing menembak. Terlempar pada sebuah momen, saat seorang anak perempuan kecil, berbekal walkman biru bergambar manusia jebol berambut jingkrak hijau sebagai penutup telinga.. tertidur di lapangan rumput nyenyak. Menunggu kedua orangtuanya yang asyik bertaruh angka dengan sebuah laras panjang dan berbutir-butir peluru tajam. Anak kecil itu hanya ingat desingan yang pekak, namun dijalari rasa hangat karena melihat mereka bahagia. Atas keberterimaan batalyon-nya.

Dan disini, hampir dua dekade kemudian, saya memberanikan diri tersesat di tengah sekumpulan paruh baya yang senang bersenda menggunakan seragam loreng-loreng. Berumur tapi bangga. Menahan-menahan diri nyaman dengan obrolan dahulu dan dahulu, lalu ditutup dengan pesan: "Jagain Ibu..", saya tersenyum. Parau.

Seakan melengkapi, saya diingatkan dengan janji berbumbu khawatir tiga hari lalu. Tentang melepaskan, tentang kembali pada rel, tentang Leo dan Cancer. Tentang takdir. Dan lagi-lagi pertanyaan saya terjawab begitu saja seperti turun dari langit. Dan saya memilih konsekwen, memilih memegang janji yang saya buat bagi diri saya sendiri bersama Tuhan. Saya paham.

Lalu, siapa sangka sosok angin yang saya kenal sepintas seperti hembusan nafas beberapa bulan lalu sekonyong hadir?

Dengan tujuan yang seharian tadi saya hindari karena sedang cengeng. Karena seharian tadi.. tawa lepasnya yang menyisakan celah karena gigi gerahamnya telah dicabut satu akibat kebanyakan mengunyah tembakau, sosok kuatnya, lagak jagoannya, terus lalu menerus lekat bermain dalam pikiran, membuat berat kepala.

"Aku minta dianter buat ketemu Ayah, karena aku serius.."

Kupukul kencang tulangmu yang padat tapi pipih. Lalu terdiam. Cengeng.

Ah, biarkan semesta yang menunjukkan jalannya. Jika memanh begitu adanya.
Biarkan, biarkan semesta yang mengambil alih.
Karena kita hanya pengendara angin. :)

♪ Did you ever think of me as your best friend
And did i ever think of you 
I'm not complaining 
I never tried to feel.. 
I never tried to feel this vibration 
I never tried to reach.. 
I never tried to reach your eden ♪

[Hooverphonic: Eden]

Wednesday, September 12, 2012

Kuda


"We're both just people who worry about the breaths we take, not how we breathe."
[Ika Natasha: Antologi Rasa]

Sampai kapan kau akan terus berlindung di balik logo anak bawangmu?
Puas dengan bego / tak yakin / krisis percaya diri agar bisa terus-menerus lari dan bersembunyi?

Ah, anak bawang itu aku. Yang kecewa karena tidak pandai menari.

Aku ialah sesiung anak bawang. Yang hidup malu-malu tapi angkuh seperti kucing. Lahir dari perkawinan silang bibit unggul bawang cerdas dan bawang berani. Diharapkan menjadi bibit unggul lainnya yang mau meng-upgrade diri sendiri dan perlu banyak disuntik multivitamin agar menjadi tangguh.

Aku terlahir prematur. Memberanikan diri melompat pada Laut Cina Selatan di musim taifun ketika baru bisa berenang. Bukankah aku biasa mahir karena keadaan terdesak dan tertekan? Konvensional, tapi sakti. Tapi tidak kali ini. Kemudaan membuatku gentar dengan benda asing yang tinggi teknologi. yang begitu sensitif disentuh tanganku yang amatir. Aku gemetar. Ditaksir berulang kali, ditimbang, diuji, dinilai dengan seksama.

Aku. Tidak biasa menjadi yang terendah. Aku anak bawang yang angkuh, ingat? Anak domba yang ingin dianggap singa, kecil tapi sudah berbahaya.

Dan, disinilah aku. Menenggak kopi dengan kalap. Saat sirine bertubi bagai palu godam di kepala, menjerit:
Kuda takkan pernah mau dikekang. Ia hanya tahu berlarian bebas di padang rumput yang luas, menikmati keindahan alamnya.

Aku ialah sesiung anak bawang. Yang hidup malu-malu tapi angkuh seperti kucing. Menimbun berkarung beras untuk ditukarkan dengan padang rumput luas dan indah. Untuk berlarian bebas.

Sampai kapan?

 

Blog Template by BloggerCandy.com